Sulit untuk mencari kata-kata yang mampu menggambarkan kesedihan yang dirasakan oleh seorang santri bernama Ahmad. Ia adalah seorang pemuda yang tinggal di pondok pesantren sejak usia muda. Setiap harinya, dia menjalani rutinitasnya dengan penuh dedikasi, belajar agama, mengaji, dan berdoa.
Ahmad memiliki seorang ibu yang mencintainya lebih dari apapun. Ibunya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa baginya setelah ayahnya meninggal beberapa tahun lalu. Setiap kali Ahmad pulang ke rumah selama liburan, ibunya selalu memberinya senyum hangat dan doa-doa yang penuh kasih.
Namun, suatu hari, sebuah berita buruk tiba di pondok pesantren. Ibu Ahmad, wanita yang lemah dan rentan, telah jatuh sakit parah. Ahmad menerima telepon dari saudaranya yang memberitahunya bahwa ibunya harus dirawat di rumah sakit dengan segera. Tanpa ragu, Ahmad langsung memutuskan untuk pulang.
Ketika ia tiba di rumah sakit, ia melihat ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur. Mata ibunya yang pernah penuh semangat, kini penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Ahmad merasa sesak di dada, melihat ibunya dalam keadaan seperti itu.
Ibu Ahmad menjemputnya dengan senyum tipis, “Ahmad, sayangku, kamu datang. Mama sangat senang melihatmu.” Suara ibunya begitu lemah, tetapi senyumnya tetap tulus.
Ahmad duduk di samping tempat tidur ibunya, memegang erat tangan wanita yang telah melahirkan dan merawatnya sepanjang hidup. Mereka mengobrol, mengenang kenangan manis mereka, dan berbicara tentang masa depan yang begitu singkat.
Baca juga: Cerpen Santri Zelenial Inspiratif, Cara Cepat Naik Pangkat II
Saat itulah Ahmad merasa begitu rapuh. Ia menyadari bahwa waktu dengan ibunya akan segera berakhir. Dia mulai menangis, berharap bisa memindahkan sebagian dari kesakitan ibunya ke pundaknya. Tetapi dia tahu itu adalah takdir.
Beberapa hari berlalu, dan ibu Ahmad semakin lemah. Saat Ahmad duduk di samping tempat tidur ibunya, ia merasakan ibunya menggenggam tangannya dengan lemah. “Ahmad, jangan pernah lupakan ajaran agama kita. Jadilah pria yang baik, dan jadilah pejuang yang kuat. Mama selalu mencintaimu,” kata ibunya dalam hembusan napas terakhirnya.
Ahmad menangis sejadi-jadinya, kehilangan wanita yang begitu ia cintai. Ia merasakan sepi yang begitu dalam, meskipun di sekitarnya ada saudara-saudaranya yang juga berduka. Kehilangan ibunya adalah pukulan terberat dalam hidupnya.
Ia kembali ke pondok pesantren, tetapi tidak pernah benar-benar pulih dari kesedihan itu. Ia tetap menjalani kewajiban agamanya, tetapi matahari cemerlang yang pernah ada dalam hidupnya telah redup. Setiap malam, Ahmad berdoa untuk ibunya dan untuk kekuatan agar bisa menjalani hidup tanpa kehadirannya.
Cerpen ini adalah pengingat akan cinta seorang anak pada ibunya, dan bagaimana kehilangan bisa merobek hati seseorang menjadi berkeping-keping. Ia belajar bahwa dalam kesedihan, kita juga menemukan kekuatan untuk terus maju, seperti yang diajarkan ibunya.