Madinah gempar
Riuh rendah suara orang bergelombang demi mendengar Bilal kembali. Segala topik pembicaraan masyarakat dimonopoli kabar kedatangan Bilal. Muadzin Rasulullah yang lama menghilang. Seluruh mata menunggu unta Amirul Mukminin tiba dari Damaskus.
Kota tempat Bilal mengasingkan diri pasca wafatnya Nabi. Bilal memohon izin kepada Khalifah Abu Bakr untuk meningalkan Madinah. Dia tidak kuasa berdampingan dengan cinta yang telah meninggalkannya.
Bagi Bilal setiap sudut Madinah adalah rangkaian kisah asmara yang menjalin dirinya yang hina dengan Muhammad Nabi yang mulia. Sang Nabi yang telah mengangkat derajatnya. Dari seorang budak menjadi penyeru panggilan Allah.
Setiap hendak mengumandangkan adzan, Bilal mengetuk bilik Rasul. Dengan senyum penuh sayang, Rasul mempersilahkan mantan budak itu. Penerimaan Rasul membuat Bilal diakui sebagai manusia. Dia yang termasuk golongan paling rendah mendapat kehormatan.
Setelah rasul wafat, Bilal tidak sanggup mengumandangkan adzan. Mulutnya terkunci saat menyeru nama Muhammad. Ia terkenang ucapan Rasul setiap kali akan adzan, “Bilal istirahatkanlah kami dengan sholat”.
Kini sosok itu datang kembali
Amirul Mukminin telah membawanya pulang. Masyarakat kota Madinah menunggu kedatangnnya. Menjelang malam, unta Khalifah Umar tiba di gerbang kota. Meski gelap, Bilal masih menangkap aroma kenangan yang telah ia lewatkan bersama Rasulullah.
Airmatanya mulai meleleh. Dia tidak tahu, apakah sanggup memenuhi permintaan Amirul Mukminin. Malam itu teramat istimewa bagi penduduk Madinah. Semua orang tidak sabar menunggu datang pagi. Seolah mereka bersepakat agar malam mengurangi jatahnya.
Fajar datang duluan. Mereka menanti kumandang adzan subuh dari menara masjid. Saat dinanti pun tiba. Seorang lelaki yang sudah mendekati masa tua melangkah naik. Satu demi satu anak tangga dilalui. Pelan tapi pasti. Dia meniti tangga masa lalu.
Tangga yang dia naiki setelah mendengar suara lembut rasul,
“Bilal, istirahatkan kami dengan sholat”.
Berdiri di muka jendela. Bilal pejamkan mata. Dia tidak sanggup melihat madinah. Nafasnya menderu, mengiringi tubuh yang menggigil. Mimpi dua hari lalu terngiang di telingan.
“Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?”
Bilal terdiam. Di bawah menara, tepat di samping mimbar imam terbujur sosok yang dia cintai.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar
Asyhadu an laa illaaha illallaah
Asyhadu an laa illaaha illallaah
Mendengar seruan adzan, semua penduduk Madinah ke luar rumah. Mereka berbondong menuju masjid Nabawi. Suara yang dirindu itu berkumandang lagi.
Asyhadu anna Muhammadan Rasulallah
Kerumunan masa di masjid Nabawi terdiam. Kerongkongan mereka tercekat. Tangis pun meledak. Kerinduan kepada Rasulullah membuncah. Setiap kenangan tentang beliau menambah air mata rindu. Rasul yang dicinta telah tiada. Amirul Mukminin di barisan pertama tidak bisa menahan duka.
Tangisnya pecah, keras menggoyang dinding masjid. Bilal yang berada di menara, tak kuasa meneruskan kalimat adzan. Suara segukan terdengar. Alangkah indahnya hidup ini. Andai dapat kutatap wajahmu Kan pasti mengalir air mataku. Kerna pancaran ketenanganmu. Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kukucup tanganmu. Moga mengalir keberkatan dalam diriku. Untuk mengikut jejak langkahmu Ya rasulullah ya habiballah. Tak pernah kutatap wajahmu. Ya rasulullah ya habiballah. Kami rindu padamu. Allahumma solli ala Muhammad
Ya rabbi solli alaihi wasallim ( 2x