Cerpen Online, “Adzan Penghabisan Senja” Versi Santri Zaman Now

oleh -
cerpen-online-adzan-penghabisan-senja
Picture: Illustration cerpen online, "Adzan Penghabisan Senja Versi Santri Zaman Now

Matahari sudah sepertiga di langit timur

Pagi yang sibuk dipenuhi manusia. Segala aktifitas tumpah ruah di luar rumah. Di pasar para pedagang sudah membuka kios. Barang dagangan disusun rapih, memanggil pelanggan untuk datang mampir. Di jalan orang hilir mudik bersegera ke tempat tujuan.

Orang pun bersenggolan dengan hewan tunggangan.  Mencari rezeki untuk bekal hidup sudah sunnatullah. Manusia diminta untuk beribadah menabung bagi akhirat dan tidak lupa melakukan peran di dunia sebagai khalifahNya.

Lelaki itu masih tidak bisa berpaling dari menara. Setiap kali hendak dan selesai sholat matanya memandang ke udara. Dia bertekad memecah rindu. Masa dua tahun sudah terlalu lama. Masyarakat ingin kembali mendengar suara itu berkumandang dari jendela bangunan tertinggi di kota.

Hari ini dia hendak menyusul kawannya. Senjata kata dipersiapkan. Hanya bujukan yang bisa membawanya kembali. Karena bagi orang sekokoh kawannya kekuatan fisik tidak punya kuasa. Kata yang baik dari hati yang tulus pasti dapat meluluhkan.

Seperti tetesan air yang mampu melubangi batu besar. Sendiri tanpa pengawal dia pergi. Niatnya sudah bulat, tidak akan kembali sebelum bisa mengajak pulang muadzin idaman. Jarak ribuan mil dilalui. Padang pasir nan tandus sudah biasa bagi lelaki yang dikenal karena keperkasaannya ini.

Dia pernah menjadi juara gulat di masa muda. Tidak ada lawan satu pun yang berhasil mengalahkannya. Setiap pria yang berani menantang pasti pulang dengan kepala tertunduk. Selain berani dia juga dikenal kejam. Tidak peduli anak istri, kalau tidak sejalan disingkirkan.

Dia pernah mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Satu perbuatan yang hanya bisa dilakukan pria raja tega. Tapi itu dulu. Sebelum dia mendapat cahaya kebenaran. Beriman kepada Tuhan yang benar dan Nabi yang jujur.

Pria itu bergerak cepat. Tunggangannya dipacu seperti hendak berlomba. Waktu dia buru, meski tiada satu pun juri menilainya. Hanya dia yang tahu, kapan harus sampai dan kapan harus kembali pulang.

Pertemuannya dengan Sang Muazin

“Assalamu’alaikum”

Hening, tidak ada suara terdengar.

“Assalamu’alaikum”

Telinganya menunggu suara. Tetap sama, hening seperti laut ditinggalkan ombak.

“Assalamu’alaikum”

Ini yang ketiga. Jatah terakhir untuk menguluk salam. Dia tahu tatakrama yang diajarkan agamanya. Bertamu tidak boleh lebih dari tiga kali menguluk salam.

Kalau salam yang ketiga tidak mendapat jawaban. Ada dua pilihan; diam menunggu atau kembali pulang. Tentu dia tidak mau pulang. Janji harus ditepati. Hari ini telah terikrar missi. Hanya kembali dengan membawa pria bersuara istimewa.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”

Jawaban salam membuyarkan lamunan. Seorang pria berkulit legam ke luar dari rumah. Memeluknya penuh kehangatan. Sekitar 30 detik dua badan kekar bertemu dalam alunan rindu.

“Apa gerangan yang membawa amirul mukminin datang ke tempat yang hina ini?”

Umar pun menjelaskan kedatangannya. Dia sudah rindu kepada Bilal, pria bersuara emas yang mendapat keistimewaan menjadi muadzin di zaman Rasul.

“Tidak umar, sekali pun engkau datang dengan pasukanmu untuk menyeretku ke Madinah, aku tetap di sini.”

Bilal dengan tegas menolak ajakan Amirul Mukminin. Umar sudah tahu. Dia memperkirakan sahabatnya itu akan menolak ajakannya. Bukannya marah, Umar malah tersenyum. Dia punya senjata yang dipersiapkan dengan matang.

“Bilal, aku hanya memintamu sekali. Sekali saja kumandangkan adzan di masjid Nabawi. Umat yang dicinta Muhammad merindukan suara adzan yang engkau kumandangkan. Aku tahu engkau sangat mencintai Rasulullah. Apakah engkau tidak cinta kepada umat yang dicintai Rasul.

Umat yang disebut lisan beliau saat ajal datang.” Bujuk Umar.

“Sekali saja” kata itu keluar dari lisan muadzin terbaik yang dicintai rasul.

No More Posts Available.

No more pages to load.