Adzan Penghabisan Senja
Hampir tiba. Langit mulai memancarkan warna jingga. Sang surya perlahan meninggalkan tahta. Mengikuti irama masa, kembali ke peraduannya. Yang pergi pun kembali tiba. Burung yang meninggalkan sarang, kembali ke tempatnya.
Ternak yang digiring ke padang, kembali ke kandang. Manusia yang sibuk kerja, membawa pulang lelah ke rumah. Seorang lelaki memandang ke atas. Bukan bintang yang dia cari. Bukan bulan yang didamba. Matanya tajam melihat sebuah menara.
Bangunan tertinggi di kota. Semua rumah berada di bawahnya. Lama dipandangi bangunan tertinggi. Perlahan matanya meredup. Sayu seperti hendak layu. Ada kantung rindu.Suara itu telah lama tiada. Meninggalkan kenangan yang tak pernah bisa dilupa.
“Sudah hampir magrib, kenapa tuan masih terpaku di pinggir jalan?”, sebuah suara memecah lamunan. Pria itu pun mengikuti langkah kaki temannya. Beriringan menuju masjid. Sebelum habis langkah ditempuh, ujung matanya masih menangkap pucuk menara.
Kenangan tidak pernah bisa terhapus dari ingatan. Peristiwa lama yang terus bergema di balik dada. Semakin laju hidup berputar semakin dalam kerinduan tertanam. Dia rindu suara itu. Sebesar rindunya kepada si pemilik suara merdu. Lebih sepuluh tahun suara itu bergema.
Setiap orang yang hidup di kota pasti mengenalnya. Suara yang menjadi penghangat di dingin pagi. Suara yang meneduhkan saat terik matahari menyengat. Suara yang menjadi penyemangat di sore yang penat. Suara yang tenang saat matahari mulai tenggelam.
Suara yang menghantarkan ketenangan menjelang waktu ke peraduan. Lima kali dalam sehari. Suara itu menemani.
Lelaki penerawang menara masih bermain dalam angan. Kenangan masa lalu masih menyibukan dirinya. Dia tahu bukan hanya seorang yang menahan rindu. Ribuan orang yang pernah tersentuh suara itu pasti memiliki rasa yang sama. Dia pernha bertanya kepada temannya.
“Rindukah kamu akan suara itu?”
Tidak ada kata yang terdengar. Hanya isak tertahan yang menjawab pertanyaan. Rindu itu seperti bongkahan es di kutub utara. Sedikit terkena percikan cahaya, meleleh tiada terkira.
Baca juga: Contoh Cerpen Santri Tentang Hidup Baru di Pesantren
Berawal dari suara azan yang terputus
Lebih dua tahun pria pemilik suara itu pergi meninggalkan kota, bukan karena benci. Menyingkir dari sahabat bukan karena tidak lagi setia. Dia pergi setelah suaranya hilang. Disandera tangis yang tidak kunjung berhenti.
Hari itu, seperti hari-hari yang telah lewat, pria bersuara istimewa menjalankan tugasnya. Dia naik ke menara, bersiap kumandangkan adzan. Semua orang menanti penuh khidmat. Meresapi setiap kalimat yang menggema dari menara tertinggi di kota.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar
Asyhadu an laa illaaha illallaah
Asyhadu an laa illaaha illallaah
Asyhadu anna Muhammad…
Semua telinga menunggu.
Asyhadu anna Muhammad…
Lidah lelaki itu kelu. Pita suaranya tercekat. Isakan terdengar sayup. Makin lama makin menggema. Tangis pun pecah. Adzan tidak sampai di akhir kalimat.
Lelaki itu pun pergi. Meninggalkan kota yang mengidolakannya. Kota yang selalu menanti suaranya berkumadang. Memenuhi langit yang menaungi mereka. Sejak saat itu, dia tidak kembali.