Cerita pendek islami ini merupakan kelanjutan dari cerita pendek islami sebelumnya yaitu tentang Kisah Umar bin Khattab Masuk Islam.
Apakah sahabat Umar bin Khattab merasa kecewa dengan keputusan Nabi yang menyetujui perjanjian Hudaibiyah?
Berikut pernyataan sahabat Umar bin Khattab atas perjanjian Hudaybiyah antara pihak umat Islam dan kaum kafir Mekkah kala itu:
“Sesungguhnya Rasulullah telah berdamai dan mengadakan perjanjian dengan penduduk Makkah, dalam perjanjian itu, Nabi SAW telah memberikan syarat yang kelihatannya lebih memihak pada kaum Quraisy.
Seandainya Nabi mengangkat seorang amir yang berkuasa atasku, dan ia membuat perjanjian yang seperti itu, aku tidak akan mendengarkannya dan tidak akan taat kepadanya.”
Secara umum, sikap Umar dan sebahagian besar umat Islam kala itu kurang setuju. Selain karena gagalnya niat untuk umrah, padahal sudah sangat dekat dengan Makkah, sementara golongan lain bebas memasuki tanah haram, terlebih adalah klausul keempat dari perjanjian tsb., yaitu:
Jika ada orang-orang Quraisy yang datang kepada Nabi SAW tanpa seijin walinya, walaupun ia telah memeluk Islam, Nabi SAW harus mengembalikannya kepada mereka.
Tetapi jika ada orang Islam yang meninggalkan Nabi SAW dan bergabung dengan orang-orang Quraisy, maka phak Nabi tidak boleh meminta untuk kembali kepada Nabi SAW.
Baca juga:
Momen Hari Santri Nasional 2019 “Santri Ulama untuk Perdamaian Dunia”
Klausul ini tampak nyata “kerugiannya”. Ketika datang salah seorang Quraisy yang telah masuk Islam, Abu Jandal bin Suhail bin Amr dalam keadaan terbelenggu, datang kepada Nabi SAW untuk meminta perlindungan.
Ketika itu pihak kaum Quraisy, Suhail bin Amr, langsung meminta agar Abu Jandal, yang tidak lain anaknya sendiri, untuk kembali lagi kepadanya.
Walaupun dengan berbagai argumen, ternyata Rasulullah tidak bisa mempertahankan Abu Jandal untuk bersama umat Islam lainnya. Saat itu, Umar mendekati Abu Jandal menasehatinya tetap bersabar, tetapi juga mendekatkan gagang pedangnya kepada Abu Jandal.
Sebenarnya ia berharap Abu Jandal akan mengambil pedang tersebut dan membabatkan ke tubuh ayahnya, tetapi itu tidak ia lakukan.
Sikapnya yang temperamental dan tegas dengan kebenaran, memaksanya untuk menemui Rasulullah SAW setelah perjanjian hudaibiyah berlaku. Ia berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulallah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka di atas kebathilan?” Nabi membenarkan.
“Bukankah korban meninggal di antara kita berada di surga, dan korban mati di antara mereka di neraka.” Kata Umar lagi. Nabi SAW membenarkan lagi.
Umar berkata lagi, “lalu mengapa kita harus merendahkan agama kita dan kembali, padahal Allah belum memberikan keputusan antara kita dan mereka.?”
Nabi SAW menjawab, “Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah, dan aku tidak akan mendurhakaiNya, Dia penolongku, dan sekali-kali Dia tidak akan menelantarkan aku.”
Itulah mengapa Sahabat Umar bin Khattab dapat julukan Al Faruq
Bukan namanya Umar al Faruq, kalau ia berhenti dengan penjelasan seperti itu. Ia berkata lagi, “bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami, kita akan mendatangi Ka’bah dan Thawaf disana?”
“Apakah aku pernah menjanjikan kita melakukannya tahun ini?” Kata Nabi SAW. “Tidak, Ya Nabi…!”, jawab Umar.
Maka Nabi SAW menegaskan, “kalau begitu, engkau akan pergi ke Ka’bah dan thawaf disana!!”. Walau tidak bisa lagi mendebat Nabi SAW, kemudian Umar mendatangi Abu Bakar dan menyampaikan keresahan yang ia rasakan dan sebagian besar orang Islam lainnya.
Tetapi Abu Bakar memberikan jawaban yang sama dengan Nabi SAW, dan akhirnya ia menasehati Umar: “Patuhlah engkau kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia, demi Allah, beliau berada di atas kebenaran.”
Tak lama berselang, turunlah wahyu Allah, “sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Al Fath 1). Nabi SAW membacakan ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya kepada Umar, barulah hatinya merasa tenang.
Berlalulah waktu. Umar menyadari apa yang ia lakukan kepada Nabi SAW, dan tak habisnya ia menyesali sikapnya. Ia ungkapkan kegundahan hatinya dengan kata-katanya.
“Setelah itu aku terus menerus melakukan berbagai amal, bersedekah, berpuasa, shalat dan berusaha membebaskan dari apa yang kulakukan saat itu. Aku selalu dibayangi dengan peristiwa itu, dan aku berharap semoga ini merupakan kebaikan (sebagai penebus sikapku saat itu)” (*)