Cerpen Santri Tentang Janda Anak Satu, Mantap Ingin Jadi TKW Demi Ekonomi Keluarga

oleh -
cerpen-santri-tentang-janda-anak-satu,-mantap-ingin-jadi-TKW-demi-ekonomi-keluarga
Gambar: Ilustrasi

Cerpen santri tentang janda anak satu, ini mengisahkan seorang perempuan yang hendak pergi ke luar negeri untuk mencari kerja sebagai TKW.

Dalam cerita cerpen santri tentang janda anak satu ini, perempuan itu rela meninggalkan anaknya yang masih sangat kecil demi mengais rezeki di negeri orang.

Baca juga: Kumpulan cerpen santri milenial zaman now

Tanpa panjang lebar, langsung saja baca cerpen santri, di bawah ini:

——————————–

Aku menatap lekat-lekat bayi 7 bulan yang ada di pangkuan ku, karena aku harus pergi melepaskan putra kesayanganku dalam jumlah kurun waktu yang lama, 6-7 tahun ataupun bisa lebih.

Jarak waktu yang begitu panjang untuk 7 bulan yang baru kurasakan, rasa bahagia serta suka duka menjadi seorang pahlawan bagi putraku, yang baru sebentar kurasakan menjadi seorang ibu.

Kupandangi wajah putraku yang begitu lucu dan mungil. Lalu ciuman hangatku mendarat lembut di kedua pipinya, air mata ini tidak ada henti-hentinya untuk terus menetes.

Bagiku ini bukan tanda kesedihan untuk berpisah, tapi juga tanda bahwa aku sangat mencimtainya.

Lagi-lagi kutatap bola mata si kecil, dengan terus berkaca-kaca, suara tangisan bayiku yang menjerit adalah ungkapan perasaannya yang tidak ingin berpisah dengan ku.

Karena aku harus pergi ke jepang, untuk mengadu nasib di negri orang, menjadi TKW, karena suamiku telah pergi meninggalkan kami pada saat usia kandungnku 4 bulan.

Ia mengindap penyakit kangker paru-paru dan tidak ada biaya untuk pengobatanya. Bukan menjadi suatu pilihan yang mudah untuk menjadi TKW, karena ayahku harus menjual satu hektar sawah untuk modal keberangkatanku.

Aku peluk lebih erat lagi bayi yang ada di pangkuanku, dan begitupun dengan jarum jam yang terus-menerus bergerak mengejar waktu dan aku hanya punya waktu 45 menit untuk melepaskan kesedihanku.

Saat itu pula isak tangisku pecah terbawa sendu, ku bisikan kepada pahlawan kecilku “farhan, nanti harus jadi anak yang solih dan pinter jangan bikin susah mbah, yang rajin yo le, jadi anak yang baik-baik”, suaraku parau tangisanku memang sudah tidak bisa kubendung lagi.

Kutatap wajah ayah dan ibuku, yang duduk di atas kursi jati yang sudah tua, begitu pula dengan mereka yang tidak dapat menahan air matanya.

Ini 2 pesan penting bapak dan ibunya kepada janda anak satu itu

”Ndok, ini Al-quran, selalu dibaca ya ndok, sempatkan dirimu untuk beribadah kepada Allah”, pinta ibuku yang sudah kepala lima, dan meletakkanya di atas meja.

Aku hanya bisa mengangguk bertanda iya, karena tidak ada suara lagi yang bisa aku ucapkan,

“Dian,cepat, lima belas menit lagi kita akan berangkat, ayo mbok!, pak duluan!”kata mbak Wiwit tetanggaku, yang sudah lam bekerja di jepang.

Aku tahu apa yang dikhawatirkan oleh ayah dan ibuku, mereka sangat takut dengan keselamatanku di sana. Mereka takut aku disiksa oleh majikanku, mereka takut aku dijual orang, dan bahkan mungkin mereka takut aku pulang ke Indonesia sudah berubah menjadi mayat.

Apalagi setelah mendengar berita bahwa TKW di Malaysia, yang dianiaya oleh majikannya. Akan tetapi tekad dan niatku sudah bulat.

Semakin cepat jarum jam berputar, maka semakin cepat pula moment perpisahan ini. Hatiku begitu sangat sakit dan pilu, jika memandang wajah puteraku. Sedari tadi yang menangis dan meronta, memang badannya juga panas, dia demam. Sudah empat hari ini, suhu badanya tidak kunjung turun.

“Nak, biar emak susah tidak apa-apa, yang penting kamu harus jadi anak yang pinter, sukses dunia dan akhirat, jangan pernah menyalahkan keadaan. Dan ingatlah, Allah itu maha adil”, lagi-lagi kecupan hangatku mendarat di atas jidatnya.

Kuayunkan tubuhnya sebentar di atas pangkuanku, dan lalu kujulurkan kearah ibuku. Dan kini si kecil farhan telah berpindah tempat, dipangkuan ibuku.

“Mbok, aku titip Farhan ya!, tolong didik dia dengan baik, doakan aku ya mbok!”, tepat pada saat itu tangisan dan jeritanya lebih keras bahkan meronta lebih hebat lagi.

Sepertinya dia paham, kemana arah omonganku dengan ibuku. Wanita mana yang tidak remuk hatinya jika melihat buah hatinya yang polos dan tidak berdosa itu menangis sedemikian keras?, sungguh menyayat hati.

Dia sangat berat meninggalkan buah hatinya

“Cup…cup..cup…, diam yo le!, doa kan saja emakmu. Jangan nangis terus”, ibuku mencoba menenangkanya, tapi bagaimana beliau bisa menenangkanya jika ibuku sendiri juga menangis.

“Pak.. nyuwon pangestune pak!, doakan anakmu!”, pinta restuku kepada ayahku, yang sudah rabun dan tidak bisa mendengar secara jelas lagi. Kutundukkan tubuh ini di atas kakinya seraya bersimpuh sujud, dan memegang jari jemari tangannya.

Dengan basah jari-jarinya yang ku ciumi, tak membuatnya untuk menyekanya. Bagitu pula, air matanya mengalir deras, tanpa mau membendungnya, walau setahuku beliau adalah tipe orang yang kuat.

“Ndok, jaga dirimu baik-baik!, jangan lupa shalat yo!”, pesan ayah padaku. Lalu kumasukan Al-Quran ke dalam tasku, dan tidak lupa kumasuki kamarku serta mengmbil tiga lembar foto.

Foto pernikahanku beserta keluarga, foto anakku dan foto almarhum suamiku, tidak lupa untuk kuselipkan di dompetku. Alasanku membawanya agar dapat mengobati rasa rinduku kepada mereka semua.

Mengadah kearah langit, bukan jaminan air mata tidak keluar lagi, yang ini lain halnya, masih deras seperti semula, bahkan lebih lagi. Lalu kupeluk ibuku beserta ankku yang ada di gendongannya, sungguh berat rasanya meninggalkan orang-orang yang kita cintai.

Awal perpisahannya dengan orang-orang tercinta

“Udah ndok..udah!, saatnya berjuang”, kata ibuku sambil menepuk bahuku, kulangkahkan kakiku keluar pintu rumah.

Kupandangi rumah gubuk yang reot, yang selama ini setia melindungi keluargaku dari sengatan panasnya matahari atau basahnya air hujan, juga dinginnya angin malam.

Kupandangi seluruh halamn rumahku yang menyimpan berjuta-juta kenangan dan cinta disini, hingga kunjung mobil jemputanku datang dan membukakan pintu untukku untuk melaju menuju PJTKI di Jakarta.

Di dalam mobil ini suara tangisku pun pecah kembali, ternyata bukan hanya aku saja tapi semua yang ada di mobil ini pun menangis. Kulambaikan tanganku untuk orang-orang yang ku tinggalkan.

Dan terus kupandangi mereka dari kejahuan hingga tidak nampak lagi. Kugenggam erat jari-jemari ini, dan kukatakan pada diri sendiri, ”aku adalah wanita yang hebat, tegar, dan sabar, aku pasti bisa”, kukepal erat sambil kupejamkan mata dengan penuh keyakinan.

“Bismilahirrahmanirrahiem”

Tulisan ini sebelumnya sudah tayang di santrinulis, dengan judul, “ Antara waktu aku dan anakku”. Semoga cerita pendek ini memberikan banyak manfaat kepada para pembaca yang budiman di mana pun Anda berada. (*)