Cerita Cinta Sedih Anak Pesantren

oleh -
oleh
Pertama kali berjumpa dengan Ahkam

Lapangan yang tidak terlalu ramai menjadi tempat bagi Neysa men-refreshkan dirinya di sore itu. Ia menyapu pandangan sekitarnya mencari sasaran santri itu, namun dia tak menemukannya. Ia sedikiit kecewa karena tak bisa bertemu sosok santri yang ia kagumi itu. Ia pun tetap berjalan menelusuri rumput subur itu. Pandangannya kini tertuju pada satu titik tak jauh darinya. Dengan segera ia menghampiri sosok cowok tinggi yang sedang mengambil bola.

“Hi!”, sapa Neysa sembari menepuk bahu cowok berkokoh hitam itu. Seketika cowok itu menjaga jarak dari Neysa yang kini mengernyit bingung, Neysa tersenyum miris.

“Maaf, siapa ya?”, tanya lelaki yang disukai Neysa itu. Namun Neysa malah mematung-memandang ketampanan cowok di depannya. Rambut hitam yang tertutup peci hitam ditambah dengan kulit putih dari hidung mancung yang serasi membuat pesona cowok tinggi itu semakin memukau.

“Hmm, permisi?”, tegur lelaki itu sembari melambaikan tangannya di depan Neysa.

“E, hehehe…kenalin gue Neysa…. Nama lo siapa?”, ucap Neysa membuat lelaki itu bergidik.

“Nama saya Ahkam, mmh… mbak”.

Mulianya akhlak seorang santri

“Salam kenal!”, sahut Neysa sembari menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Namun Ahkam lebih memilih menangkup tangan kanan kirinya sebagai tanda hormat. Neysa yang serasa tidak dihargai hanya bisa mengusap tengkuknya gugup.

“Kenapa lo gak mau salaman sama gue?”, tanya Neysa sembari mengerucutkan bibirnya.

“Bukan mahrom mbak”, balas Ahkam sembari tersenyum simpul.

“Oh, emang mahrom itu apa?”, tanya Neysa.

“Mbak, gak tau arti mahrom?”

“Gak tau, hehehe”, balas Neysa cengengesan.

“Mahrom itu, seorang laki-laki dan perempuan yang boleh bersentuhan kalau ada ikatan keluarga. Jadi kalau bukan mahrom, artinya tidak boleh bersentuhan antara laki-laki dan perempuan gitu”, jelas Ahkam yang hanya dibalas Neysa dengan anggukan.

“Kenapa kok gitu ya..”. Cibir Neysa sembari memainkan kukunya. Ahkam yang mendengar itu, hanya tersenyum tipis sembari menggeleng-gelengkan kepalanya”.

“Itu karena hukum islam yang sudah ditentukan oleh Allah swt pada hambanya”.

“Oh… tapi di agamku gak ada… Emangnya harus dilakukan?”, tanya Neysa polos.

“Iya, karena untuk menjaga diri dari nafsu syetan”.

Neysa yang dijelaskan hanya bisa mengangguk mengerti.

“Emangnya apa agamamu?”, tanya Ahkam.

“Katolik”, jawab Neysa singkat. Jujur ia kecewa setelah mendapat penjelasan dari lelaki di depannya itu.

“Oh, ia habis ini mau maghrib, saya pamit pulang ya”, ujar Ahkam membuat mata Neysa membelalak.

“Emangnya kenapa?”

“Mau sholat… kamu juga, gak baik bagi perempuan keluar di petang kayak gini, takutnya ada apa-apa. Jadi mending kamu juga pulang ke rumah melakukan kewajiban kamu sebagai umat Katolik”, jelas Ahkam membuat hati Neysa tersentuh. Entah mengapa ia sangat ingin bersama Ahkam seperti hari ini. Namun itu tak bisa ia lakukan karena adanya perbedaan agama yang membuatnya tak bisa selalu berharap.

“Ya udah, saya pamit pergi dulu…”, Ahkam berlalu meninggalkan Neysa yang kini pandangannya kosong. Rasa senang karena bisa bertemu dengan Ahkam, tapi rasa sedih juga ia rasakan karena harus berpisah. Akhirnya Ia pun pulang kembali ke rumahnya.

No More Posts Available.

No more pages to load.