Masa Kecil Syeikh Junaidi al Baghdadi
Sejak kecil Al-Junaid telah memiliki kedalaman spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin, bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi yang tajam. Sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Kedudukannya di antara para sufi sangatlah terhormat, bahkan Imam Sarri Al-Saqathi yang juga paman Al-Junaid sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya pada Imam Sarri al-Saqathi,
“Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari gurunya dalam tasawuf?” Imam Sarri menjawab, “Tentu saja dapat, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tingkat tasawuf Al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang pernah kucapai.”
Suatu hari, Al-Junaid pulang ke rumah dari sekolah. Ia menemukan ayahnya tengah menangis. “Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Al-Junaid. “Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu, Sarri.” tutur sang ayah. “Namun ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis karena ayah telah mencurahkan seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang 5 dirham ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang kekasih Allah.” Lalu Al-Junaid menyaut, “Berikan uang itu kepadaku dan aku akan memberikannya kepada Paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau menerimanya.”
Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu Al-Junaid pun pergi. Sesampainya di rumah pamannya, Al-Junaid mengetuk pintu. “Siapa itu?” terdengar suara dari dalam rumah. “Junaid,” jawab sang bocah. “Buka pintu dan terimalah tawaran sedekah ini,” kata Al-Junaid. “Aku tidak menerimanya,” pekik Imam Sarri. “Aku mohon, terimalah ini, demi Allah yang telah begitu dermawan padamu dan telah begitu adil pada ayahku,” jawab Junaid.
“Junaid, apa maksudmu Allah begitu dermawan kepadaku dan begitu adil kepada ayahmu?” tanya Imam Sarri. Junaid manjawab, “Allah begitu dermawan padamu karena Dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah begitu adil dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada orang yang berhak.” Jawaban Al-Junaid ini menyenangkan hati Imam Sarri. “Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini, aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar Imam Sarri. Setelah berkata begitu, Imam Sarri as-Saqathi membuka pintu dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan Junaid di tempat yang istimewa dalam hatinya.
Saat Al-Junaid baru berusia tujuh tahun, Imam Sarri mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram, masalah syukur tengah dibahas oleh 400 syeikh. Masing-masing syeikh mengemukakan pandangannya.“ Utarakanlah pendapatmu,” kata Imam Sarri pada Al-Junaid. Lalu Al-Junaid berkata, “Syukur berarti engkau tidak bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu, juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan pada-Nya”. “Bagus sekali, benar-benar merupakan pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu. Ke-400 syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada definisi syukur yang lebih baik daripada apa yang telah dikatakan oleh Al-Junaid itu. “Anakku,” ujar Imam Sarri, “segera tiba saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.” Al-Junaid menangis tatkala mendengar pamannnya berkata begitu. “Darimana engkau belajar?” tanya Imam Sarri. “Dari duduk bersamamu,” jawab Al-Junaid.