Santri Sensasional dan Esensial

oleh -
Santri Sensasional dan Esensial
Momentum makan bersama HSN Lamongan

Lamongan – Saat ini kita tengah berkembang biak di dalam era pencitraan. Semua dipoles agar layak tonton, dimake-up supaya enak dilihat, baik dibidang jasa, ekonomi, politik lebih-lebih agama. Munculnya spesies ustadz baru yang lebih menomorsatukan agar dirinya layak tonton, lebih menjamur dibanding dengan seorang tokoh agama yang benar-benar cocok didengar dan dihayati hujah-hujahnya.

Menjamurnya jenis ustadz “layak tonton” ini, tak ayal hanya melahirkan sensasi. Karena mungkin (hanya sebatas) itu orientasinya. Jumlah followers menjadi penentu, kuantitas like menjadi cita-cita nasional, apalagi mendapat bonus play button dari Youtube. Mungkin ini yang dimaksud oleh Nadhirsyah Hosen sebagai “ulama penjilat umat”, agar ia tak ditinggalkan jamaah, tak diunfollow oleh penggemar, apapun ia orasikan walau mengundang kontroversi. Penuh sensasi.

Jenis ustadz seperti ini memang punya kelebihan dibanding santri-santri kebanyakan, mereka lebih PD dihadapan kamera, skill orasinya oke oce, busananya stylish dan ini yang penting: ditopang dengan branding media yang serius lagi profesional. Polusi narasi mereka membumbung di atap-atap akun media sosial mayoritas masyarakat Indonesia. Kalau tak percaya, coba bandingkan jumlah follower mereka. Kalangan santri kalah telak, sensasi mereka dapatkan.

Apakah tak boleh kita melahirkan sensasi? Jawabnya pasti boleh dong.

Kiai-kiai kita dulu, -saya contohkan dua- pernah melakukan tindakan-tindakan sensasional yang cetar membahana. Adalah Kiai Wahab Hasbullah, dengan perawakan kecil tak lantas membuat beliau gentar menjadi delegasi kaliber internasional untuk “ngluruk” raja Saudi, memprotes kebijakannya yang tak bersenyawa dengan tradisi keislaman dunia. Kiai Wahab, membawa tuntutan agar Raja Saudi membebaskan umat islam untuk mengekpresikan islam dengan tradisi bermadzhab serta memprotes penguasa haromaian tersebut yang berencana meluluhlantakan bangunan bersejarah umat islam.

Contoh kedua adalah Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari, kurang sensasional apa beliau saat mengeluarkan fatwa dan resolusi jihad untuk membela tanah air dari serangan kolonialis-imperialis. Fatwa yang berhasil memukul mundur tentara Inggris dan sekutunya tersebut, tak pelak membuat pemenang Perang Dunia II itu geleng-geleng, mereka “hanya” dikalahkan oleh santri yang tak punya track record latihan militer memadai, apalagi seranganya dibumbui oleh teriakan heroik nan sakral. Allahu Akbar.

Baca juga:

Tindakan kiai-kiai kita sebagaimana di atas, walaupun sensasional namun tetap tak kehilangan ruh. Sebuah sensasi yang esensi. Tindakan besar yang ditopang oleh nilai-nilai persatuan, kemaslahatan, ukhuwah dan perjuangan.

Sayangnya, andil orang-orang pesantren di masa-masa selanjutnya, kurang diungkap dalam sejarah Revolusi Indonesia. Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang disusun rezim Orde Baru pada pertengahan 1980-an, misalnya, tak memberi banyak tempat untuk perjuangan kaum santri. Narasi besar era Revolusi dalam pelajaran itu didominasi peran tentara.

Martin van Bruinessen mengatakan, bahwa pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Inilah narasi besar yang baru-baru ini terungkap setelah sekian lama (di)tenggelam(kan).

Kedua tokoh yang disebut di atas, layak dan wajib menjadi cermin bening santri-santri saat ini. Apalagi era media sosial sangat mudah sekali membuat sensasi, namun bedanya, sensasi yang dilahirkan oleh santri haruslah berakar dari suatu yang lebih esensial.

Fenomena Gus Baha’ -misalnya- bisa kita katakan sebagai representasi santri yang mampu mengkolaborasikan sensasional-esensial. Kenapa dikatakan demikan?

Gus Baha’ mampu mendobrak intelektualisme yang selama ini menjadi strandar keilmuan kita. Sebagai intelektual yang “hanya” produk pesantren, nyatanya berhasil melahirkan sesosok ulama yang memiliki otoritas keilmuan islam pilih tanding.

Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana masa muda Kiai Sahal, Kiai Maimun, Kiai Abdullah Faqih, Kiai Mahrus Ali, Kiai Maksum dan kiai-kiai lain. Seperti apa keilmuan beliau-beliau yang mensamudra dikala mudanya. Pasti sangat linuwih, namun tenggelam kedalam ketawadlu’an dan menjauh dari populraritas penuh sensasi. Kita saat ini “disuguhi” atraksi keilmuan khazanah pesantren oleh Gus Baha’ yang berhasil membawa kembali marwah dan otoritas keilmuan islam ala pesantren yang selama ini tidak mendapatkan tempat di dunia maya.

Otoritas keilmuan pesantren memang telah lama terpendam, atau sengaja memendamkan diri. Akibatnya, genre dakwah di Indonesia dilumuri oleh mereka yang tidak kredibel dalam membawakan risalah islam. Mereka yang hidup berislam tak akrab dengan dunia santri, hanya kental semangat dakwah, ruh dakwahnya melejit-melangit. Namun, fiqhud dakwah dan adab dakwah ditinggalkan begitu saja. Santri melalui sanad keilmuan wali songo, memiliki kemampuan integral, antara ruh dakwah, fiqh dakwah dan adab dakwah.

Santri kali ini harus membuat sensasi di berbagai macam segmen: ekonomi kreatif, politik, gerak kebudayaan, pendidikan lebih-lebih pada segmentasi gerakan dakwah. Ruh dakwah perlu digalakkan kembali oleh santri yang memang otoritas keilmuan ada pada mereka, lumbung khazanah keislaman ada dipundak santri. Waktunya santri membuat sensasi diberbagai lini kehidupan, karena santri telah memiliki kekayaan wisdom yang sudah diperolehnya selama di Pesantren.

Mengakhiri tulisan ini, saya kutipkan perkataan Kiai Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Guruku Orang-Orang dari Pesantren:

“Oleh karena para santri adalah anak-anak rakyat, mereka jadi paham tentang arti rakyat. Paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangatnya dan cita-citanya, suka dukanya, tentang nasibnya dan segala liku-liku hidup rakyat. Sebagai anak-anak dari rakyat, maka para santri lahir dari sana, demikian mereka hidup dan lalu mati matipun di sana pula”

Selamat Hari Santri Nasional 22 Okt 2019

Penulis: Dr. Eka Wahyudi (Pengurus LTN NU Jatim)