1# Soal pendanaan pesantren
Beberapa pengasuh pesantren terkesan agak tersinggung ketika membahas soal dana pendidikan dari pemerintah untuk pesantren; seakan-akan urusan pesantren dengan pemerintah hanya soal bantuan dana, padahal pesantren sudah terbiasa mandiri soal pendanaan. Perlu ditegaskan bahwa kita sedang membahas mengenai regulasi dan penganggaran. Bahwa telah ditetapkan 20 persen APBN untuk pendidikan nasional yang tahun ini akan dinaikkan hingga menjadi Rp 487,9 triliun. Akan sangat tidak adil jika anggaran sebesar itu tidak bisa diserap oleh pesantren. Bahwa pihak pesantren kemudian menolak dana dari pemerintah karena sudah terbiasa mandiri, itu urusan lain.
Skema pendanaan dalam UU Pesantren ini hanya dibebankan kepada Kementerian Agama. Jelas bahwa “menteri” yang dimaksud dalam UU Pesantren adalah Menteri Agama. Pembahasan RUU ini juga “mengunci” di Komisi VIII DPR RI sehingga tidak bisa menjangkau dana pendidikan di luar mitra komisi VIII (komisi andalan lulusan sekolah tinggi Islam). Padahal Kementerian Agama hanya mengelola sekitar Rp 51,9 triliun dana pendidikan yang diperuntukkan bagi seluruh lembaga pendidikan di Indonesia yang berada di bawah naungannya, itu pun sebagian sudah terserap dalam belanja rutin. Hampir Rp 400 triliun dana pendidikan ditransfer ke daerah. Nah dana ini dikelola oleh dinas pendidikan daerah, dan tidak bisa diperuntukkan pesantren. Dinas pendidikan daerah merupakan kepanjangan dari Kemendikbud yang secara nasional sudah mempunyai alokasi anggaran sebesar Rp 36 triliun. Silakan ditotal sendiri.
UU Pesantren memang tidak mengusik alokasi anggaran pendidikan 20 persen APBN. Namun pada pasal 48, ada peluang sumber pendanaan yang perlu dijabarkan ke dalam aturan pelaksanaannya yang lebih strategis. Pasal 48 ayat (2) menyebutkan “Pemerintah Pusat membantu pendanaan penyelengaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Lalu pasal (3) menyebutkan “Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Baca juga: PWNU Jatim: Sahnya RUU Pesantren Bukti Negara Mengakui Eksistensi Pesantren