SantriNow – Undang-undang Pesantren yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, 24 September 2019 lalu, bisa menjadi kado terindah dalam peringatan Hari Santri Nasional tahun ini. Kita layak menyampaikan apresiasi kepada partai politik, Kementerian Agama, organisasi pesantren, para kiai-nyai dan santri-aktivis yang setia mengawal perjalanan RUU Pesantren. Berbeda dengan RUU KPK, RUU PKS, dan RKUHP, pembahasan RUU Pesantren memang tidak terlalu menyita perhatian publik. Namun tidak penting apakah viral atau tidak, faktanya RUU Pesantren ini telah disahkan. Ada yang menarik bagi saya sebagai pengkaji legislasi hukum Islam di Indonesia, beberapa RUU yang ditujukan khusus untuk umat Islam seperti terkait haji, zakat, wakaf dan halal serta RUU pesantren ini lebih mudah diketok dari pada RUU yang ditujukan untuk semua warga negara, tapi ini perbincangan lain.
Point paling penting dari Undang-undang Pesantren adalah rekognisi atau pengakuan negara terhadap lulusan pesantren, baik yang formal maupun nonformal. Pesantren yang formal dalam UU ini terdiri dari pendidikan muadalah dan pendidikan diniyah formal, serta ma’had ali. Sementara jalur pendidikan nonformal berupa pengajian kitab kuning dengan beberapa metode pembelajarannya yang khas. Baik formal maupun nonformal, semua lulusan pesantren “diakui sama dengan lulusan pendidikan formal pada jenjang tertentu setelah dinyatakan lulus ujian dan lulusannya dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, baik yang sejenis maupun tidak sejenis dan/atau kesempatan kerja.”
Sebagaimana produk legislasi lain yang telah disahkan, UU Pesantren menyisakan beberapa pekerjaan rumah (PR) bagi pihak-pihak terkait, bukan saja bagi pemerintah tetapi juga bagi pengelola pesantren sendiri. Saya mencatat ada sembilan (9) PR terkait pengesahan UU Pesantren. Angka 9 ini tentu bukan harga mati, tapi kalau kita menyusun PR sampai 212 tentu capek bukan?