Jember – Beberapa hari silam, ada perempuan beragama lain mengamuk sambil bawa anjing ke masjid. Saya marah? Iya. Jangankan masjid, jika ada orang masuk ke rumah saya sambil bawa hewan ternak-pun, saya bakal muntab.
Tapi saat tahu, dan tampaknya terbukti, jika perempuan itu depresi, maka saya menunda kemarahan. Orang gila kok diladeni. Jika orang ini menderita schizofrenia, saya kira case closed. Membawa orang gila ke ranah hukum itu perbuatan sia-sia. Yang pas membawanya ke rumah sakit jiwa.
Jadi, tidak perlu adu dalil. Tak perlu juga membawa konteks perilaku orang Badui yang pipis di dalam masjid di era Rasulullah untuk membela perempuan gila ini. Sebab, konteksnya geografis, sosiologis, dan psikologis berbeda. Tak perlu juga mendramatisir kalau ini salah Jokowi (apa korelasinya, coba?), ulah kaum kafir, dan “gorengan” lain yang bisa memanaskan suasana. Sebab, muara kasusnya satu, pelakunya wong gendeng.
Dalam banyak hal, saya kira kita perlu melokalisir masalah, termasuk dalam kasus ini. Melokalisir masalah berarti menelusuri sebab-musababnya, mempreteli akarnya dan mencari solusinya, biar tidak merembet dan menimbulkan masalah baru. Ini penting, karena berbagai kerusuhan dan tindakan barbar yang melibatkan massa biasanya muncul dari satu masalah yang disangkutpautkan dengan persoalan lain. Kemudian ada banyak pihak berkepentingan yang memainkan kasus sensitif hingga pada akhirnya, api permusuhan tersulut, membesar, lantas menghasilkan ledakan kerusuhan. Mengerikan!
Dalam kasus ini, penting kiranya kita menahan diri. Bukan malah dengan memanas-manasi. Kalaupun pelakunya normal, lantas kita marah, dan kemudian bilang “Dasar, Katolik Bajingan!”, bukankah ini sama biadabnya dengan makian kaum fasis-rasis di Amerika dan Eropa yang bilang “Dasar, Muslim Keparat!” ketika melihat aksi muslim Srilanka mengebom gereja.
Contoh lain. Misalnya, anak saya bertengkar dengan sahabatnya yang beragama Hindu. Ketika melokalisir masalah, maka saya pantang mengata-ngatainya dengan sebutan “Dasar Hindu Kurangajar”. Pun demikian dengannya. Nggak usah bilang “Muslim Teroris”. Sebab, ada banyak sensitivitas di negeri ini, termasuk ungkapan bernama SARA. Cukup diselesaikan dengan baik-baik. Masing-masing ortu ngobrol dengan kepala dingin. Selesai di tahap kekeluargaan. Tanpa harus naik di level hukum. Banyak kasus sebenarnya yang bisa diselesaikan dengan cara “minum secangkir kopi bersama-sama”, tapi karena gengsi dan harga diri salah kaprah, akhirnya berlanjut ke level hukum. Masalah level RT, tapi ditangani di Mahkamah Agung. Konyol, namanya.
Dalam Islam, sikap menahan diri dan jernih melihat persoalan itu disebut al-Hilmu. Orang Jawa menyebutnya “Aris”. Ini pantulan karakter mulia. Rasulullah dan para manusia mulia lain punya karakter ini. Orang yang punya sifat al-Hilmu biasanya dipercayai masyarakat sebagai al-mushlih, rekonsiliator, juru damai.
Sebab dia bisa melihat permasalahan dengan obyektif, jernih, dan solutif, bukan problematik.
Mereka dimusuhi provokator dan tukang jualan konflik. Lho, memangnya ada pebisnis konflik? Jelas ada. Ini bisnis purba. Mereka adalah para pecandu pertengkaran yang punya insting lalat, berkerumun menikmati luka dan nanah. Mereka inilah para penghasut permusuhan yang lekas beringsut menyingkir di pinggir gelanggang manakala korban hasutannya mulai bersiap adu pukul.
Saya percaya, kalau kita tidak bisa menyelesaikan masalah, kemungkinan besar kitalah yang bermasalah, atau kita justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Wallahu A’lam Bisshawab
Penulis: Rijal Mumazziq q