Apa istimewanya menikah?

oleh -
Apa istimewanya menikah?
Gambar: editing

Yogyakarta – Aku nggak ngerti kenapa beberapa orang sangat memuja pernikahan, mengidam-idamkan kapan menikah, menyarankan orang segera menikah, dst.

Apa istimewanya menikah? Semua orang juga bisa menikah! Kalau Islam, cukup bawa 2 saksi dan ortu si cewek ke depan penghulu. Bahkan sekarang kalau mau, nikah di KUA gratis tis tissss!

And voila… Dengan nol rupiah, kamu dan pasanganmu yang entah sudah saling mengenal berapa bulan tersebut bisa melakukan hubungan seks yang legal tanpa dosa atau digrebeg warga, serta anakmu nanti bisa diuruskan akta kelahiran kalau memang punya anak.

Semua orang menikah. Tak ada yang akan mengelu-elukanmu di jalan karena kamu menikah, memberi medali, piala, atau piagam seakan-akan meresmikan hubungan romantikmu di atas dokumen negara adalah sebuah prestasi yang langka dan luar biasa.

Everyone gets married. Why are you exaggerating such banal, mundane “social construct”?

Yang lebih buruk, menganggap pernikahan sebagai pil yang akan secara ajaib menyelamatkanmu dari semua masalah: masalah status sosial seperti dipanggil perawan tua sama tetangga, masalah finansial seperti biar ada yang nafkahin, masalah keluarga seperti biar bebas dari cengkraman ortu, masalah psikologis seperti kesepian, biar ada yang menemani, biar ada tempat menyalurkan hasrat wikwik, melengkapi separuh jiwa dst, atau hal seremeh “nikah biar kayak orang-orang aja”.

Selamat, Anda tertipu. Dalam jangka panjang, menikah dengan alasan-alasan yang salah akan membawa penderitaan.

Pernikahan bukanlah pil yang bisa langsung ditelan untuk menyelesaikan semua persoalan. Pernikahan justru adalah rangkaian persoalan baru: menghadirkan pasangan dan keluarganya ke hidup kita, yang kalau kita apes, akan berpotensi jadi sumber neraka dunia.

Baca juga: Apakah Jodoh Setiap Orang Telah Ditetapkan oleh Allah?

Upaya merawat hubungan baik adalah persoalan baru.

Hadirnya anak dan segala kebutuhannya adalah persoalan baru.

Berusaha menyelesaikan konflik dan berkompromi terhadap ketidaksepahaman adalah masalah baru.

Tidak dicintai oleh pasangan dalam bentuk dan kadar yang diharapkan adalah persoalan baru.

Upaya menjaga pasangan agar tetap berkomitmen terhadap janjinya adalah persoalan baru.

Dan sederet persoalan lain yang menggelinding setiap hari, sepanjang pernikahan.

Kemudian, orang-orang yang secara psikologis belum selesai dengan diri sendiri ini, orang-orang yang berharap dapat “pil ajaib dari persoalan hidupnya” ini, justru ketambahan persoalan baru yang tidak siap mereka hadapi karena mereka hanya mengekspektasikan segala yang indah-indah di awal, sembari mengabaikan realita yang pasti akan dihadapi, dengan dalih:

“yang nanti dipikirkan nanti lah, kalau mikir terus kapan nikah”

“yang penting ada tekad”

“menyempurnakan separuh agama, daripada zina”

“nanti kalau gak segera nikah blablabla”

Mereka lupa… Ada jutaan pasangan yang berakhir di meja perceraian. Di sisi lain, ada jutaan pasangan yang entah kenapa terpaksa bertahan padahal tidak cinta, padahal pernikahannya hambar dan menyiksa jiwa, dan seterusnya.

Apakah semua itu pernah direncanakan, pernah terbayang di awal perkenalan dengan pasangan?

Tentu tidak. Tak pernah terbayang di benak. Semua baru ketahuan di akhir. Semua baru tersingkap saat pertimbangan-pertimbangan yang saya tulis di atas sudah sangat terlambat untuk dipikirkan.

Kasus-kasus itu ada. Itu nyata.

Kasus semacam itu banyak terjadi, tapi tak banyak dibicarakan. Tak sebanyak anjuran nikah muda dan pertanyaan-pertanyaan “kapan nyusul” di hari raya.

– Afi Nihaya Faradisa