[starbox id = “Syaiful”]
SantriNow | Politik identitas masih menjadi PR terberat bagi laju demokrasi kita. Konsolidasi demokrasi yang sedang diperjuangkan, terkoreksi tajam karena menguatnya politik identitas ini.
Isu SARA, terutama agama masih menjadi daya ikat dan pikat primordialisme yang membebani kualitas demokrasi Indonesia. Itu jika demokrasi dipahami secara substantif, bukan demokrasi presedural. Demokrasi yang dipahami sebagai sebuah proses yang fair tanpa membedakan ikatan primordial semata, namun lebih menekankan kualitas yang nyata.
Agama tidak seharusnya menjadi pemanis. Tak seharusnya menjadi bungkus, karena agama itu substantif. Tak seharusnya agama hanya menjadi baju bagi politik, tapi, seharusnya agama menjadi inti dari politik. Kata Imam Ghazali, agamalah yang akan menjadi pilar utama kekuasaan, menjadi inti moralitas politik. Seharusnya demikian, seharusnya begitu. Seyogyanya seperti itu. Agama menjadi roh dari segala aktivitas politik. Tujuannya adalah agama, patokannya agama, tata tertibnya agama rule of gamenya adalah bersumber dari agama.
Memaknai agama dan politik seperti kata al Ghazali, maka kekuasaan akan lebih terjamin selalu berada di tempatnya. Kekuasaan untuk kebaikan bersama, perselisihan dan perbedaan politik menjadi celah mendapat rahmah tuhan, karena perbedaan dianggap sebagai ikhtiar bersama mencapai kebaikan bersama, bukan sebagai alasan permusuhan dan perpecahan.
Seharusnya demikian. Seharusnya begitu memahami agama dan kekuasaan. Keduanya saling melengkapi dan membutuhkan.
Politikpun bukan sekadar permainan, tipu muslihat yang menghancurkan. Politik itu bertujuan baik dan mensejahterakan. Politik adalah kesepakatan-kesepakatan, dengan aturan-aturan yang telah disempurnakan. Memahami dan menjalankan kesepakatan-kesepakatan adalah cara berpolitik yang benar.
Di Tangan Mereka Agama Hancur, Politik Kacau Balau.
Persoalannya, hari ini, banyak pemain baru yang tak paham agama dan politik dengan benar. Mereka merasa bisa, padahal mereka tak bisa. Mereka merasa mampu padahal jauh dari mampu. Mereka merasa punya kapasitas padahal mereka jauh dari kata berkualitas. Mereka adalah orang-orang tak mampu membaca dirinya sendiri, bodoh tapi merasa pinter. Inilah paling payahnya orang. Bodoh tapi merasa pinter.
Ada seseorang, semua orang pasti tahu dia, katanya gus, katanya seorang dai, seorang muballigh, bahkan di komunitasnya, disebut sebagai seorang ulama. Benar dia sering ceramah, tapi isi ceramahnya itu-itu saja. Materinya hanya tentang caci maki dan kebencian. Bahkan, maaf, kata-katanya kasar dan kotor. Tapi dia merasa seperti ulama. Kapasitasnya sama dengan para ulama.
Dia bangun alibi untuk membela diri, bahwa kata-kata kotornya hanya untuk disampaikan pada rezim yang kotor. Kotor di balas kotor. Ah begitukah? Saya kok tidak menemukan refrensi dalam Islam yang membenarkan berdakwah dengan caci maki dan penuh emosi kebencian.
Tapi, sayangnya, ustad atau gus baru ini, banyak peminatnya. Banyak pengikutnya. Padahal, dia jauh dari kapasitas keulamaan. Pengetahuannya masih jauh, masih sekelas santri baru di pesantren, apalagi akhlaknya, masih sangat jauh. Dia masih meledak-ledak, penuh emosi. Belum tenang apalagi memberi ketenangan.
Lihatlah para ulama NU. KH. Maimun Zubair, KH. Nawawi Abd. Jalil, KH. Afifuddin Muhajir, KH. Zuhri Zaini, KH. Musthofa Bisri atau Prof. Dr. Habib Quraish Shihab. Mereka berkapasitas, ilmunya diakui, akhlaknya, apa lagi. Terbukti. Tapi mereka tak pernah meledak-ledak, santai saja. Tapi serius mendidik dan berdakwah. Begitulah seharusnya ulama.
Apalagi, ketika, para gus atau ustad dadakan ini tampil ke pentas politik. Wah, semakin kacau. Seenak nafsunya, mereka giring agama menjadi bagian dari justifikasi politik. Mereka pakai agama untuk memukul lawan politiknya. Dalil-dalil dipotong-potong seenaknya, disesuaikan dengan kepentingannya. Maka, tak heran jika provokasinya berhasil menyiram kebencian dalam politik identitas yang mengerikan. Politik hanya menjadi tipu daya (pilitical gimmick), bukan politik yang memberdayakan.