Tangerang – Pesantren bertembok bambu di pinggiran kota Jakarta ini kondisinya sangat memprihatinkan. Bahkan masih di bawah standar bangunan pesantren. Lokasinya juga bukan di pedalaman Indonesia melainkan hanya 45 km dari Kota Jakarta.
Bentuk fisik Pesantren Ibtida’ul Hasan yang cukup memprihatinkan itu, dindingnya hanya bertembok anyaman bambu dengan ukuran sekitar 2 x 2 meter. Tempat itu digunakan sebagai istirahat 2-3 santri sekaligus bagi yang menginap.
Dari Masjid Sunda Kelapa Menteng, Jakarta Pusat, pesantren ini hanya memakan waktu 1,5 jam perjalanan. Namun kondisinya sangat tidak standar bahkan jauh dari kondisi pesantren normal. Terasa mengejutkan saat melihat beberapa santri keluar masuk dari ruangan tersebut, membuktikan mereka benar-benar menempatinya.
Padahal bangunannya tak lagi tegak, cenderung sedikit miring. Tempat bermalam para santri itu lebih mirip bilik sebenarnya. Tak lebih besar dari kandang ayam yang ada di sebelahnya. Lokasi pesantren pun sebenarnya cukup tersembunyi dari lingkungan Desa Kebasiran, Karang Tengah, Kecamatan Pagedangan, Tangerang, Provinsi Banten.
Terletak di pinggir jalan, namun papan petunjuk menuju pondok pesantren ini tak ada sama sekali. Bahkan tak ada plang atau papan nama Pondok Pesantren Ibtida’ul Hasan. Hanya tampak seperti rumah biasa bila pertama mengunjungi tempat ini. Tapi ada 147 santri yang mengenyam pendidikan Islam di tempat ini, 40 di antaranya menginap.

Detikcom diajak ke sana oleh Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA), Minggu (26/5/2019). Pondok Pesantren Ibtida’ul Hasan berdiri sejak 1991 di selatan Ibu Kota. Pondok ini didirikan oleh Romli (51) yang merupakan pendatang dari Pakuhaji, Banten.
“Pertama bikin satu ruangan ada 6 pintu, Alhamdulillah setelah itu datang anak-anak santri yang mengisi, sehingga dalam kurun waktu 1 bulan, seluruh ruangan sudah penuh,” kata Romli di lokasi.
Awalnya, pondok ini dihuni hanya oleh santri laki-laki. Kemudian pada tahun 1994, santri perempuan mulai mengisi pondok pesantren berkurikulum salafi ini. Saat itu, jumlah santri yang belajar di pesantren ini menginjak angka 100 santri. Mereka berasal dari Pakuhaji, Legok, Bogor, Lampung, hingga Palembang.
Namun, saat krisis moneter terjadi di Indonesia pada 1998, pondok pesantren ini ikut tergoncang. Sejumlah santri pun perlahan pergi meninggalkan pondok. “Waktu ada krisis moneter, ada kebimbangan terutama untuk anak-anak didik saya, itu yang tadinya di sini, pada berhenti,” ungkap Romli.
Romli mengatakan, barulah pada tahun 2000-an pondoknya mulai kembali pulih dari krisis moneter di Indonesia. Namun kondisinya tidak pernah seperti dahulu lagi. Kini, total santri yang bermukim di Pondok Pesantren Ibtida’ul Hasan sekitar 70 santri aja. Mereka terdiri dari 30 akhwat (perempuan) dan 41 ikhwan (laki-laki).

Padahal mendirikan pondok pesantren adalah cita-cita Romli. Saat itu, Romli teringat pada kakeknya yang mengajarkan dia mengaji. Sehingga ia bertekad untuk bisa mengajarkan kembali kepada orang lain.
“Ini cita-cita saya sejak saya masih pesantren, waktu itu kan namanya juga anak kecil ya, kadang malas mengaji. Kadang-kadang sama kakek saya kalau tidak mengaji suka ‘disabetin’, sampai sekarang kalau inget sama kakek saya, saya ingin menangis. Karena kalau seandainya kakek saya tidak galak begitu, saya nggak bisa baca Quran kali ya.” kenang Romli sambil berkaca-kaca.
Dalam mengelola pondok pesantren, Romli yang sehari-harinya bekerja sebagai petani ini pun menemui sejumlah kendala. Terutama dari warga, khususnya lingkungan sekitar pondok.
“Biasanya sama masyarakat ya ada pro kontranya gitu, saya kan bukan orang asli, saya orang biasa, berhubung masyarakat di sini orang asli. Saya ikut adat di sini, seperti tidak menggunakan pengeras suara (ketika azan),” ungkap Romli.

Niat baik Romli tak sebanding dengan dukungan dari warga sekitarnya. Padahal Romli mendirikan pesantren ini hanya untuk mengajarkan Quran kepada santrinya. Namun niat saja tidak lah cukup.
“Saya dipandang sebelah matalah sama orang sekitar,” ungkapnya.
Tenaga pengajar di pesantren ini pun hanya berasal dari lingkungan keluarga Romli. Ia, sang isteri, dan adiknya lah yang mengurus pondok pesantren ini. Tak jarang dia merogoh uang pribadinya dalam mengelola pesantren ini. Baru pada 2015, sejumlah donatur berdatangan untuk memberikan sumbangan.
Tak banyak yang diharapkan Romli dalam mengurus pondok pesantren yang ia dirikan ini. Ia hanya ingin bisa lebih istiqomah dalam mendidik anak-anaknya. “Insya Allah bisa lebih istiqomah,” pungkasnya.
Hingga suatu saat Remaja Islam Masjid Sunda Kelapa mengetahui kondisi pesantren ini. “Alhamdulillah, Allah nunjukin pesantren ini. Kita sudah browsing-browsing pesantren, nemuin pesantren ini. Kok, agak memprihatinkan tempat tinggalnya,” ujarnya Muhammad Iqmal, Ketua Ramadan Bersama RISKA.
Sehingga tercetus niat mereka mengumpulkan dana untuk merenovasi pesantren ini. Barulah pada Maret 2019 mengumpulkan dana, terhimpun dana sebesar Rp 170 juta.
“Nah, kita coba ke sini. Kita survei kita ngobrol sama pengurusnya, ternyata pengurusnya bener-bener biaya sendiri untuk ngurusin (pesantren), untuk itu makanya kita milih di sini, ini perlu banget dibantu,” terangnya.
Kini proses renovasi sedang berjalan, sejumlah bangunan bilik yang tersisa sedang diupayakan berubah jadi bangunan permanen yang laik huni. Bantuan dari semua pihak masih diperlukan agar Pesantren Ibtida’ul Hasan dapat konsisten mengajarkan nilai-nilai Islam. (dtk)