Ayah, Mengapa Aku dan Adik Dibawa ke Mari?

oleh -

[starbox id = “Rijal Mumazziq”]

Mungkin dialog ini bakal terjadi beberapa tahun ke depan, yaitu saat Avisa dan Ilkiya bertanya. Karenanya, sementara antisipasi dulu dengan jawaban ringan.

Avisa: yah, mengapa aku dan adik diajak ke ke sini? Ini makam siapa, yah? Ayah: ini makam Mbah Sunan Ampel. Ayah sengaja ajak kamu ke sini menjelang Ramadan. Sebagai ungkapan syukur pada Allah, sebab lantaran dakwah beliau dan para ulama, kita bisa menjadi muslim.

Ilkiya: mengapa harus datang ke makam secara langsung, bukankah membacakan fatihah untuk beliau sudah cukup?

Ayah: bila kamu kangen ayah, menelepon saja sebenarnya telah cukup. Namun lebih baik bila bertemu langsung, karena ada titik emosional di situ. Begitu juga dengan ziarah kubur. Mengirimkan al-fatihah kepada ahli kubur sudah baik, akan tetapi ziarah secara langsung itu menurut ayah lebih baik lagi.

Avisa: mengapa orang-orang berziarah di sini, apakah mereka menyembah Sunan Ampel?

Ayah: tidak, wahai anakku. Kita tetap menyembah dan meminta kepada Allah. Mungkin ada sedikit saudara-saudara kita yang keliru, meminta kepada selain Allah dan itu harus kita jelaskan kepada mereka mengenai hakikat ziarah kubur yang sebenarnya. Jika ada temanmu yang curang dalam ujian nasional, apakah ulah temanmu itu menggugurkan usaha teman-temanmu yang lain? Tidak, kan? Begitu juga dengan berziarah ke makam orang soleh. Kesalahan beberapa orang tidak kemudian membuat kita melarang berziarah kubur, khususnya ke makam orang soleh.

Ilkiya: mengapa harus kepada makam orang soleh kita berziarah?

Ayah: ayah ini bukanlah orang soleh, namun ayah ingin agar menjadi bagian orang-orang soleh, dan ayah ingin anak-anak ayah menjadi orang soleh. Karena itulah ayah mengenalkan kamu kepada orang soleh yang mulia bernama Sunan Ampel. Semoga ini membawa berkah bagi keluarga kita. Para ulama salaf juga sering berziarah ke makam para ulama dan membaca Alquran di samping kuburnya.

Baca juga: 3 Teman Mamah Muda Facebook yang Energik

Avisa: mana dalilnya, ayah?

Ayah: Soal dalil, setiap orang bisa menemukan dalil atas perbuatannya sendiri. Kau tahu, ada saudara-saudara kita yang membunuh dengan meledakkan bom. Mereka menyandarkan tindakannya pada dalil-dalil tertentu meskipun tidak nyambung. Jika perbuatan jelek macam ini saja mereka punya dalil, apalagi kita yang melakukan amaliah baik seperti ziarah kubur ini. Nanti ayah jelaskan panjang lebar soal dalil-dalilnya ya. Kau tau, anakku, ada banyak orang di luar sana yang bertanya mana dalilnya, tapi setelah diberitahu dalilnya, mereka menolak, malah membantah. Semoga kita tidak menjadi orang seperti ini, bertanya tapi tidak butuh jawaban.

Ilkiya: kata Kanjeng Nabi Muhammad, berziarah kubur supaya mengingat mati, kok aku tidak ingat mati saat ini ya, ayah?

Ayah: rasa sensitif setiap orang tentang kematian itu tidak sama, wahai anakku. Ayah pun sekarang tidak ingat kematian di sini, melainkan ayah merenungkan betapa mulianya manusia yang jasadnya dikuburkan di sini, sehingga kita jangan sampai berjalan dengan sombong di atas bumi karena di dalamnya banyak bersemayam jasad manusia-manusia mulia. Dengan berziarah kubur, kita juga mematut-matutkan diri bahwa kualitas kita belum ada apa-apanya dibanding dengan orang-orang soleh ini. Lagi pula, kata Mbah Gus Dur, mereka sudah tidak punya kepentingan duniawi dengan kita. Dengan demikian, berziarah kepada mereka lebih melembutkan hati, sebab bila mengunjungi orang yang masih hidup malah mengeraskan hati dan menguatkan nafsu duniawi. Ini bukan kata kata dari ayah, anakku, melainkan dari Habib Umar bin Hafidz.

WAllahu A’lam.

Penulis: Rijal Mumazziq Z

Editor: Muweil