Cerpen santri dengan judul Santri Santun untuk Negeri, ini menceritakan tetang gadis perempuan yang awalnya tidak mau menimba ilmu di pesantren
SantriNow | Seperti biasa, pulang sekolah aku pergi ke masjid untuk ngaji bersama teman-teman. Di sana, kami dibimbing oleh Bu Hikmah. Usai mengaji, aku bersama Ainun pulang ke rumah. Kami berpisah di Jalan Gula karena rumah Ainun ada di seberang jalan, sedangkan rumahku masih berada lima meter lebih jauh dari Jalan Gula. Aku pun terus berjalan melewati Jalan Gula dan mampir sebentar di kedai “Es Krim Tacik”. Tanpa ku sadari, gerimis datang menerpa Jalan Gula. Untung saja aku sudah berada di kedai, memesan es krim goreng, menu terlaris di kedai Tacik.
Gemericik hujan masih setia menemaniku di sudut kedai.
“Lha yo, kapan anak-anak ini beranjak dewasa?”, ucapan bapak tua penjual buku bekas di Jalan Gula tadi mengusik pikiranku.
Kata itu terlontar saat dia melihat berita di televisi tua miliknya. Berita itu berisi tentang usulan salah satu ormas untuk mengahapus sebutan kafir kepada non muslim Indonesia. Aku masih bingung, mengapa pak tua itu menyebut mereka dengan julukan “anak-anak”? Padahal yang terlibat di berita tadi, semuanya adalah orang dewasa. Ah, nanti akan kucari jawabannya pada Ayah.
٭٭٭
“Assalamu’alaikum, Ayah”, sapaku pada Ayah yang sedang membaca buku di ruang tengah sambil ditemani secangkir kopi dan setoples cemilan.
“Wa’alaikumussalam”, jawab Ayah singkat sebelum kembali serius dengan bukunya.
Aku sudah hafal dengan karakter ayah yang memang sedikit bicara namun banyak aksi ini. Bagaimana tidak hafal? Lima belas tahun sudah aku hidup bersamanya. Bersama ayah yang selalu mengedepankan urusan ukhrowi dari pada duniawi. Ayahku, di balik sikap diamnya memiliki selera humor yang tinggi. Sekali saja Ayah melawak, aku bisa enggan berhenti terbahak-bahak.
“Ayah sudah tahu berita baru tadi siang?”, tanyaku membuka percakapan, karena teringat sesuatu yang membuatku bingung.
“Oh, tentu! Tentang Pilpres 2019, kan?”
“Bukan, Ayah…”
“Lalu? Tentang apa, Nak?”
“Sebutan kafir pada non muslim.”
Ayah terdiam sejenak, terpaku melihatku menanyakan hal itu.
“Ada apa dengan berita itu?”, tanyanya.
Aku pun menceritakan perkataan bapak tua penjual buku bekas yang kudengar tadi siang. Namun, belum sempat Ayah menanggapi ceritaku, adzan maghrib telah berkumandang. Seperti sudah dikomando, kami menghentikan diskusi dan segera bersiap menunaikan sholat maghrib. Ayah, Ibu, dan aku, melaksanakan sholat maghrib berjama’ah di rumah. Selesai sholat, tak lupa Ayah memimpin kami membaca wiridan. Aku pun sampai hafal bacaan wiridan ini tanpa sengaja untuk menghafalnya.
Di meja makan telah tersedia makanan dengan menu ayam goreng kesukaanku. Tentu saja Ibu yang masak dan menyiapkannya. Aku dan Ayah segera menuju ruang makan begitu Ibu memanggil kami. Kalau tidak segera datang, suara Ibu tidak akan berhenti mengusik telinga kami.
“Masakan Ibu memang tidak ada tandingannya”, puji Ayah setelah makanan di piringnya habis tak tersisa, membuat Ibu tersipu malu.
Berhenti makan sebelum kenyang, itu yang kerap Ayah katakan padaku. Tak tertinggal pula ajaran untuk selalu mencuci piring sendiri setelah makan. Aku sudah terbiasa melakukannya sejak kecil. Ajaran yang tidak hanya diucapkan, tetapi juga dicontohkan.
Baca juga: Kafir atau Non Muslim