Cerpen santri berjudul Bukan Sekenarioku ini mengisahkan perjuangan seorang santri penghafal Alquran hingga akhirnya mereka sukses
SantriNow | Terik matahari yang membakar gurun pasir di Madinah ini terlihat kerumunan orang menunggangi kuda membelah menjadi dua kubu. Berperlengkapan baju zirah dan senjata perang yang menyilaukan. Aku, Husein Ar-Rasyid, pemimpin pasukan Islam akan berjuang fii sabilillah ”Allahu Akbar…!!! ” Kedua kubu kini bercampur menjadi warna-warna yang ternoda oleh darah. Saling beradu tebasan, suaranya yang nyaring memenuhi ruang di kepala. Panasnya medan perang membuat lupa akan waktu, matahari mulai tergelincir, seluruh pasukanku gugur di tempat sejauh mata memandang. kini aku sendiri, terkepung oleh pasukan kafir Quraisy. Diikat kedua lengan dan kakiku di sebuah balok kayu yang kokoh. Pemimpin mereka mulai mengayun-ayunkan cambuk yang di ujungnya terdapat besi berduri. Pemimpin itu mulai mengarahkan cambuknya ke arahku. ”Ctassshh …”
Aku terbangun, nyawa masih belum sepenuhnya kudapat, dengan tatapan seperti orang lugu kuraba bagian tubuhku yang terasa sakit, diiringi suara Pembina asrama, ”Ayo mas …. Ayo mas …”, kulihat ia mengarahkan sorbannya ke teman-temanku yang masih tertidur. Jam masih menunjukkan pukul 03:00 subuh, sesegera pergi mandi karena jika tidak cepat maka akan terjebak oleh antrian yang panjang dan lama pastinya. Walaupun serasa mandi di kutub utara, akan terbiasa nantinya. Mengenakan busana rapi nan suci, sholat berjamaah dan jadwal mengaji yang padat itulah, ciri khas dari kata yang biasa didengar dengan sebutan mondok. Ditambah bulan ini semua umat Islam diwajibkan untuk melaparkan diri demi suatu kemuliaan tersendiri. Seketika itu seluruh tenaga seperti terfokuskan untuk mengaji di setiap harinya terutama di Asrama Bani Umar ini.
Ceramah demi ceramah terasa mudah sekali kumengerti. Orang faham belum tentu mengerti tapi orang yang mengerti sudah pasti faham. Di sore hari, aku mengajak Adam dan Rozi pergi ke toko buku pertigaan.
Baca juga: Kafir atau Non Muslim