[starbox id = “Rijal Mumazziq” desc = “deskripsi khusus”]
Di facebook ini, saya berteman dengan 3 orang mamah muda yang energik. 2 orang dokter. Satu tinggal di Surabaya, satu lagi di Batam. Satunya lagi ibu rumahtangga merangkap pengusaha katering. Yang terakhir ini malah single parent sejak ditinggal wafat belahan jiwanya tahun 2013 silam.
Dari ketiganya, saya bersama istri mengamati dan belajar soal falsafah hidup. Anak-anak mamah-mamah ini anteng. Tidak banyak tingkah untuk ukuran remaja. Dan, semua punya prestasi di bidangnya.
Dokter di Batam ngasih kabar kalau putri sulungnya yang juga enerjik itu dapat beasiswa ke Eropa. Diminta milih: Inggris, Jerman, atau Perancis? Si adik juga punya jiwa sosial yang tinggi. Cerdas emosional. Empatinya kuat. Suka tirakat juga. Didikan si mamah.
Tahun kemarin, dokter di Surabaya juga memberi kabar kalau anak mbarepnya (pertamanya) mewakili sekolahnya ikut olimpiade fisika di Malaysia. Tahun kemarin juga, selama Ramadan, si adik yang ganteng itu khataman al-Qur’an. Sesuatu yang istimewa untuk anak kota dari keluarga the have. Kalau prestasi mamahnya juga banyak, tapi nggak usah disebut di sini. Khakhakhaaaa.
Si mbak pengusaha yang single parent juga ngabari kalau anak bungsunya, yang mondok di PP. Arrisalah, Lirboyo, mewakili sekolahnya untuk ikut olimpiade level provinsi, kemudian lanjut level nasional. Kalau kakak nomor dua proses menghafal Al-Qur’an di Lirboyo juga. Kakak pertama jagoan basket, salah satu mahasiswa berprestasi di UI, dan sebentar lagi dapat beasiswa di Amrik.
Semua tidak banyak tingkah. Manut. Anteng. Bisa diarahkan. Kok beruntung banget bisa begini? Oke, jika diamati ada satu kesamaan dari ketiganya. Apa itu bang, kasih tau dong, bang? Mamah-mamah enerjik ini mendidik anaknya untuk tidak hanya cerdas, melainkan peduli dan punya empati. (Tuh, kan, pendidikan karakter memang banyak dibentuk oleh ibu. Ayo mblooooo, semangat cari istri mblooooo!)
Hasil amatan lain: ketiganya punya hobi yang sama: sedekah dan ringan tangan membantu orang yang susah. Jadi memang benar kata Kanjeng Rasulullah, sedekah itu senantiasa bertambah keberkahannya. Gusti Allah memudahkan jalan anak-anak ini karena ibunya memudahkan orang lain yang sedang kesulitan. Jerihpayah orangtua itu punya dampak dahsyat bagi anak-anaknya gaes. Anak-anak KH. A. Wahid Hasyim bisa sukses di bidangnya masing-masing antara lain karena Kiai Wahid dan Bu Nyai Solihah punya jiwa sosial yang tinggi. Allah menggelarkan kesuksesan bagi anak-anaknya lantaran orangtuanya juga gemar membantu keberhasilan orang lain. Semacam barter keberkahan.
Karena itu, dalam Surat al-Kahfi 82, dikisahkan Nabi Musa dan Nabi Khidir mendirikan dinding yang hampir roboh milik dua anak yatim. Kok kedua manusia spesial ini mau capek-capek membangun kembali tembok itu? Sebab di bawahnya ada harta peninggalan orang tuanya yang saleh. Ketika menjelaskan ayat ini saat ngaji Tafsir Jalalain, guru saya memberi keterangan, Allah memberikan kemudahan bagi kedua anak yatim itu lantaran kesalehan ayahnya (wa kana abuhuma sholihan). Karena itu, ini pentingnya memperkuat kesalehan kita sebagai orang tua agar anak-anak dimudahkan kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Jadi, kata beliau, kalau mau anaknya baik ya orangtua harus baik terlebih dulu.
Ini ngelmu urip (belajar hidup). Belajar dari oranglain yang sudah menjalani lelaku trial and error dan sudah mulai tampak hasilnya. Belajar dari ketiga Mahmud (mamah muda) ini, saya teringat dawuhnya KH. Nafi’ Abdillah, Kajen, Pati,
“Kalau mau anak kita sholeh-sholihah, maka saat sedekah bisa diatasnamakan mereka. Sebab sedekah bisa menjadi wasilah keberkahan harta kita dan kesolehan putra-putri kita.”
Wallahu A’lam Bisshawab.
Penulis: Rijal
Editor: Muweil