Di tahun kedua seorang gadis imut seringkali berbagi cerita kepada mereka berdua dari beragam kisah perjalanan hidup selama di UINSA. Gadis itu berasal dari ujung timur pulau Madura, Khumairah namanya, namun akrab disapa Ira oleh Nia dan Aisyah. Dari sinilah sebuah kisah persahabatan yang erat dari mereka bertiga.
Imaji dan segudang mimpi yang seringkali mereka idam-idamkan kala malam dengan semilir angin yang mengguncang kedalaman nurani. Bintang dan bulan adalah kekasih setia mereka. Tuhan tempat mereka melabuhkan segala kesah dan gundah, berharap esok hari masih tetap berdiri tegar di atas segala luka yang candu dalam jiwa mereka. Akan tetapi luka tetap saja luka yang tak bisa dengan segera mengering kemudian sembuh dan hilang begitu saja. Bekas dan sejarah akan tetap selalu menjadi media nostalgia.
“Ira, kenapa begini ya?”, tanya Nia.
“Maksudmu?” jawab Ira.
“Hidupmu enak, bisa disayang dan segala macam”, sahut Nia kembali.
“Mesti bahas itu”, ketus Aisyah.
“Ada apa sih?”, tanya Ira keheranan.
“Aku pingin seperti yang lain, disayang secara utuh dipeluk dan…”, air matan Nia mengalir tanpa bisa meneruskan kata-
katanya.
“Sudahlah, kita semua punya pengalaman pahit”, sahut Ira seraya memeluknya dengan erat.
“Tapi..”, sahut Nia lagi.
“Udah-udah”, sambung Aisyah.
“Masih banyak hal yang harus kita lakukan selain mengenang luka masing masing, banyak mimpi yang harus kita wujudkan dibanding menangis dari kesalahan yang tak pernah kita buat”, Tutup Ira dengan lugasnya.
Canda dan tawa bahkan tangis sekalipun selalu menjadi bumbu di antara persahabatan mereka yang secara tidak langsung diajarkan untuk bersyukur dari hubungan yang mereka pernah rajut bersama. Persahataban di aantara mereka sudah layaknya keluarga kecil. Karenanya, mereka kini hanya bisa merindu, karena jarak adalah pemicunya.
Mungkin pembaca bertanya, bagaimana dengan kisah cinta mereka masing masing?