“Yang pecah pada pandangan, akan tetap menjadi penyakit dalam angan jika tanpa jabat tangan”
Satu cerita tentang seorang gadis muda, melepas banyak cerita di kampungnya, beribu kenangan yang purba dihempaskan demi selembar ijazah.
Ini fakta bukan dongeng belaka, bukan candaan para remaja, bukan pula rekayasa seperti yang sudah sudah atau bahkan hoax seperti Ratna.
Aku menemukannya dalam sebuah drama; temannya
Malam itu, dengan sengaja dia memalingkan wajah seorang perempuan, Melayu dalam bahasanya, susu di kulitnya, keindahan dalam setiap sungging senyumnya.
Disisi lain, anak anak setengah dewasa menyaksikan drama mereka, tanpa kedip, tanpa nafas panjang yang mengerang dibalik tatapan.
Iya, hampir bernyanyi menyuarakan kodok kodok malam hari, riang dan penuh tawa, sedang di wajahnya senyum yang terpancar adalah rembulan yang seringkali gagal anak anak dapatkan.
Perempuan itu, seorang gadis dari negeri jiran. Aku yang menyaksikan, sedang Yovie adalah pemeran yang girang. Yang pecah pada pandangku malam itu adalah senyum dan sedikit malu, lalu menjadi penyakitku seiring menit berlalu.
Dan perlu kau tahu, sebelum puisi ini aku tulis, aku memanggilnya Jiran dari kejauhan, dari balik topeng topeng pendidikan, dari balik dunia perdongengan serta dari halu yang berkepanjangan.
Jiran Jiran Jiran Jiran Jiran Jiran Jiran Jiran
Dan aku salah
Namanya adalah Syamimi, seorang mahasiswi semester lima UIN Sunan Ampel Surabaya, dan hari ini, hari dimana puisi ini rampung, kukatakan dalam dalam aku ingin mengenalnya, sekalipun hanya dalam do’a, karena yang pecah pada pandangan butuh jabat tangan agar tak menjadi penyakit dalam angan.
Biarkan aku mengenalmu secara utuh di kemudian hari.
“Siapapun engkau, tetaplah menjadi rembulan saat malam, karena aku adalah bagian dari bintang bintang”
*Fahrurrozi Shanjenang
Surabaya, 08 Desember 2019