Hal ini bisa karena ketidaktahuan dan bisa karena penolakan yang disengaja. Untuk yang pertama bisa jadi karena mereka bukan tergolong santri sehingga minim pengetahuan agama berikut lembaga keagamaannya seperti Nahdlatul Ulama.
Sedangkan yang kedua, lebih berlatar belakang politis, di mana yang bersangkutan meski penganut paham NU tapi karena afiliasi politik mereka bukan keturunan partai NU, mereka menolak disebut sebagai warga NU.
Diakui atau tidak, umat Islam Indonesia banyak berada pada kedua posisi itu. Mereka kurang atau bahkan tidak memiliki hubungan emosional dengan Nahdlatul Ulama. Mereka dengan mudah, khususnya yang baru meningkat kesadaran keagamaannya, digiring menjadi penganut paham yang kontra paham dan tradisi Islam Indonesia.
Masyarakat kritis kampus, kelompok santri ‘baru’ atau mereka yang baru hijrah terutama kelas ekonomi menengah atas pemiliki akses informasi trans-nasional adalah kelompok yang rentan terhadap pergeseran afiliasi paham dari yang lama ke yang baru dari luar. UAS dalam hal ini telah berjasa mempertahankan mereka menganut paham Islam yang telah lama berlaku di Indonesia, sesuatu yang semenjak berdirinya Nahdlatul Ulama telah menjadi inti perjuangan.
Peran UAS dalam counter Wahhabism dengan demikian selayaknya menjadi perhatian utama anasir Nahdlatul Ulama, seperti Gerakan Pemuda Ansor dalam menilai sepak terjang UAS. Hal ini lebih utama jika dibandingkan dengan orientasi politik UAS yang belum jelas identitasnya.
Pergaulan UAS yang nampaknya kurang dekat dengan struktural NU meski pernah menjadi ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Riau dan seolah dekat dengan kelompok lain, jangan menjadikan UAS sebagai lawan untuk dijauhkan. Dia adalah potensi NU yang berserak yang harus dirangkul. Sebagaimana dakwah NU yang tidak memukul tapi merangkul; tidak menyerang tapi menyayang. (*)
Oleh Achmad Murtafi Haris (Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya)