Setitik Cinta dari Pesantren > Part 3

oleh -
oleh

SantriNow | Mataku masih belum terpejam padahal arlogi ditanganku menunjukkan pukul dua dini hari. Insomniaku kambuh. Kalau sudah seperti ini, biasanya aku menulis.

Kali ini aku menulis curahan hatiku tentang tadi magrib. Ya, lelaki tadi membuat tanganku selalu menari diatas kertas, tepatnya karena aku ingin melukiskan perasaanku.

“Anna” sebuah panggilan menghentikan tanganku. Aku berdehem dan menoleh kesumber suara. Temanku bangun dari tidurnya .“Ehm, kenapa kau bangun ? mimpi buruk ?” tanyaku. Dia mengangguk. “Kau tahu ustadzah Alfin , guru mantiq dikelas Ula ?”

Aku beralih mendengarkan ceritanya . “Ooh ustadzah cantik berkacamata itukan”. Aku memastikan dugaanku, karena sebelumya aku tidak tahu apa-apa tentangnya . “Benar sekali . Dia memutuskan khitbah yang telah diberikan abangku”.

“Mimpi itu hanya bunga tidur , sudahlah jangan terlalu dipikirkan” semoga saja. Aku takut hal itu terjadi. Kau tahukan rasanya kalau cinta dikhianati”. Aku mengangguk sekedar simpati. “Memangnya kapan abangmu mengkhitbah ustadzah Alfin”.

“Kau ingat, ustadz Baim pernah cuti satu minggu ?”. Aku berusaha mengingat. ‘Lalu apa hubungannya’ batinku. “Itu sebabnya, karena beliau mengkhitbah ustadzah Alfin”. Jawabnya seakan dia mengerti isi hatiku.

“ Maksudmu ustadz Baim abangmu ?”. Dia mengganguk. Aku terhenyak. Ada perasaan tak terima yang menyusup kalbuku.

Senja belum pudar.
Mengiringi magrib yang binar.

Dari surau terdengar suara Adzan yang menggelegar.
Aku duduk beralaskan tikar dengan niatan berikhtiar.

Tanpa kupinta Pangeran menyapa menawarkan cinta.
Oh rinduku …. Yang kian menyeru.
Antarkan hatiku dalam lingkaran cinta Yang menuju surgaNya

“Puisimu bagus sekali Ann”. Comentar temanku. Yang tanpa kusadari, ia menarik lembaran di meja belajarku.

“Tidur yuk ! Aku mulai mengantuk”, ajakku. Sungguh sebenarnya rasa kantuk belum menyerangku. Tapi, aku mencoba menenangkan hati, siapa tahu setelah bangun tidur lukaku sembuh. “Puisinya aku ambil ya”. Aku tak menanggapi. Segera kutarik selimut agar menutupi seluruh tubuhku, termasuk menyembunyikan isak tangisku.

Aku terbangun begitu melihat pengurus ubudiyah memencet bel tanda tahajud. Semua santri berduyun –duyun ke masjid meski masih dalam keadaan mengantuk. Sebelum ke masjid aku memandangi diriku dicermin. Mataku sembab sebab menangis semalam. Wajahku juga terlihat murung.

“Pook” pundakku ditepuk. Aku menoleh, pengurus ubudiyah sudah dibelakangku, matanya melotot siap memuntahkan amarahnya. “Tahu waktunya tahajud?” introgasinya. Aku membisu, “cepat ke masjid !”, muknya. Aku turuti saja perintahnya.

Langit mulai cerah, matahari sudah mengintip tak sabar ingin memamerkan indah sinarnya. Kicauan burung turut masuk kegendang telingaku, bagai music surga yang nyala secara otomatis. Aku duduk dikelas fahsoha, sambil menunggu kedatangan sang ustadz. Aku membaca mushafku . “Anna, ustadz Alek tidak bisa hadir hari ini, kita diperkenankan ikut kelas ustadz Baim”.

Lagi –lagi aku mendengar nama itu. Kutoleh temanku yang sudah berdiri di ambang pintu. “Kau berangkat saja, aku takkan ikut kelas manapun, aku tetap menuggu ustadz Asy’ari”. “Tapi hari ini beliau tidak hadir”. “Kalau begitu, hari ini aku juga tak mengaji”. “Terserah kaulah, resiko kau rasakan sendiri.

Aku mau ngaji”. Kutahu temanku kesal dengan tingkahku, tapi aku tak bisa berbuat apa –apa. Aku tak ingin bertemu ustadz Baim , itu alasan mengapa aku tetap disini. Mataku terpejam, pelan butiran embun keluar dari sudut mataku. “Ukhti, kenapa menangis?”

Aku gelagapan mendapati seseorang duduk disampingku. Ku pandangi wajahnya yang ayu dalam balutan hijab yang kalem. Matanya bulat dan senyumnya menawan akan membuat nyaman orang disekitarnya. Tapi untuk, wajahnya, senyumya, menambah luka dihatiku.

“Kenapa menangis ukhti?” Tanyanya ulang. Segera ku usap sisa air mataku. Kupandangi lagi wajahnya, “ustadzah Alfin sedang apa disini ?” Bukan menjawab aku, malah melontarkan sebuah pertanyaan. “Tadinya saya mengambil buku yang tertinggal, eh ada ukhti. Kenapa ukhti menangis”? Aku membisu tak mungkin ku jawab bahwa ini semua karena dia. Dia yang telah mengambil pangeranku. Memusnahkan harapanku.

“Ceritalah padaku ukhti. Insya Allah, saya carikan jalan keluarnya”. Akumenelan ludah. Sungguhkah kau akan membantuku, mau membantuku, mau merelakan sang pangeran untukku.

“Ya sudah kalau ukhti tidak mau cerita. Tapi kalau kata ummi ‘jangan menggendong masa lalu’ ukhti pasti paham”. Dia tersenyum, tangannya menggenggam tanganku. Aku melihat ke jari manisya, disana terdapat sebuah cincin. Tanpa terasa airmataku jatuh lagi.

“Jangan bersedih, karena pada hakikatnya bersedih itu tak dapat menghapus kesedihan”. Nasehat itu sudah tak asing lagi bagiku. “Ustadzah, aku harus kembali ke asrama , aku belum piket”. Tak ingin berlama-lama dengan ustadzah Alfin. Aku mencari alasan untuk menghindar. “Janji ya tidak menangis lagi”, ujarnya sebelum aku melewati pintu.

Diluar kelas aku bertemu ustadz Baim yang sedang bersenda gurau dengan adiknya. Begitu aku lewat, semua mata tertuju padaku. Terutama ustadz Baim, ia melemparkan senyum mautnya padaku. “Ann tunggu !” teriak Bella menghentikan laju kakiku.

“Kak, aku kembali ke asrama dulu ya. Dijaga baik –baik loh kertasnya“ pamit bella pada sang kakak dan kemudian menyusulku. “Terimakasih ya Ann, puisinya tadi malam” ujarnya padaku. Aku tak menanggapi dan berjalan lebih dulu darinya.

To be continude