Setitik Cinta dari Pesantren > Part 2

oleh -
oleh

 

SantriNow | Siapakah Imam Sholat Magrib kali ini ? Sibuk pertanyaan menggelayuti pikiranku, memaksaku untuk melihat wajah sang imam. Satu per satu santri keluar meninggalkan masjid, menuju kelas mengaji masing-masing. Tapi aku masih duduk di tempatku. Aku tidak akan mau keluar sebelum sang imam keluar, itu keputusanku.

Memang terdengar aneh dan memaksa, tapi bukan Anna namanya kalau tidak kepo atau ingin tahu. Aku masih membaca mushaf, walau semua orang sudah keluar. Tinggal aku dan sang imam yang tersisa. Sejurus kemudian sang imam keluar dan melewati tempat dudukku.

Sepontan, aku menganga, terkejut tepatnya. Ternyata sang imam magrib itu lelaki yang biasa ku lihat sepulang sekolah.

Lelaki yang mengganggu pikiranku, aku menyudahi bacaanku, dan berjalan santai menuju kelas mengajiku. Pikiranku masih tertuju pada sang imam magrib tadi, hingga tak sadar aku tersandung batu. Kakiku terkilir, tak ada yang membantuku, karena memang tidak ada orang di sana, semuanya sudah masuk kelas.

Tinggal aku yang tersisa. Aku meringis kesakitan, ya inilah akibatnya, sudah terlambat, pakek maksiat pula.

Aku mencoba berdiri dan berjalan walau tertatih. Kini aku tidak jadi melangkah ke kelas mengaji, melainkan ke asrama. Ya aku butuh memulihkan kakiku yang terkilir. “Tin…tin” sebuah sepeda berhenti di sampingku, aku berhenti melangkah dan menoleh pada pemilik sepeda itu.

Ooh… ternyata dia sang imam magrib. “Kau kenapa ukhti, habis jatuh ya ? Tanyanya sopan. “e… hanya…tersandung saja”. Aku berusaha menyembunyikan kegugupanku, dia menoleh ke kanan kirinya. Seperti mencari orang lain, aku mengawasi gerak- geriknya.

“Aduh… tidak ada orang lagi, kenapa kau tidak minta tolong teman untuk membantumu berjalan ukhti ?” Jangan hawatir ustadz, aku bisa jalan sendiri, permisi, “assalamualaikum”.

Aku berusaha berjalan lebih cepat meski masih tampak tertatih. Aku benar-benar tak sanggup menyembunyikan kegugupanku, dia terlalu memperhatikanku. Eh, kenapa jadi aku ya yang ke geeran. Apalagi tadi jawabanku seakan-akan memang dia memperdulikanku, kenapa aku seperti ini ya?

Anna, tunggu !” Aku menoleh ke sumber suara, Rahma berlari menghampiriku.
“Kakimu terkilir ya, tanya Rahma? Sini aku tuntun” Rahma langsung saja menggandengku, dia menuntunku hingga tiba di kamar.

“Terimakasih ya, kalau boleh tahu, kenapa kamu tadi menyusulku ?”. Oh itu, tadi aku berniat wudhu, eh ustadz Baim memanggilku, dia bilang kamu terkilir dan aku dimintai tolong untuk membantumu”
“Ustadz baim?” Aku menganga, siapa ustadz Baim ?.

“Iya, ustadz Baim, imam sholat magrib tadi” ooh jadi namanya ustadz Baim. Tapi kenapa dia peduli padaku ? Kenapa dia sampai mencari orang lain untuk membantuku ?

Membuat hatiku melambung saja, tidak sadarkah engkau ustadz, secara tidak langsung, kau sudah memberiku se cercah harapan dan aku tahu, harapan itu kemudian menjadi halangan bagiku dalam meraih suatu cita-cita. Sekarang banyak cinta yang menjatuhkan pencintanya, dibanding  yang menguatkan. Dan aku tak mau termasuk golongan itu.

To be continude