SantriNow | “Azqi!” Panggilan itu menggema di koridor sekolah yang lengang. Hanya kibaran kerudung Azqi yang nampak di sana. Segera Naura berlari-lari kecil menuju sahabatnya yang berwajah kurang bersahabat.
“Limadza?” Azqi bersuara. Suara yang terdengar asing karena saking lamanya mereka tak saling bericara.
“Urid an abhatsa syai’ ilaiek” Dengan gugup Naura mengutarakan maksudnya. Tangannya bergerak-gerak membetulkan kaca mata yang baik-baik saja.
“Ok!”
“Kamu marah ya Az, sama aku?” To the point Naura saking gemasnya. Dan lagi-lagi hanya sambutan diam yang ia dapatkan dari Azqi. Sebetulnya, Banyak sekali yang ingin Azqi lontarkan. Tapi semua tak mau keluar.
Kamu Ra, Ngapain kamu cemburu? Jelas-jelas aku nggak se sempurna kamu. Imposible Ustadz Salman bisa suka bahkan cinta sama aku. Kenapa kamu cemburu? Kenapa kamu harus bersikap nggak enak sama aku? Aku hanya butuh motivasi dan kamu sudah dapat semuanya.
Tapi, kamu cemburu. Aku sakit Ra, kamu begitu. Aku jauhin kamu karena kamu jauhin aku duluan. Kamu tahu semua tentang aku. Aku pernah suka sama Ustadz Salman. Kenapa kamu harus ngomong ke beliau? Hingga beliau tahu semua. Aku benci semuanya Ra… Aku bingung…
Kata-kata itu hanya malang melintang di fikirannya. Semua hanya tersimpan hingga membuat hubungan mereka tidak jauh lebih baik setelah pertemuan itu.
Waktu berjalan Mereka sama-sama sibuk untuk belajar bidang mereka masing-masing. Azqi yang sedang mempersiapkan lomba membaca kitab Tafsir Qur’an, Naura yang sedang sibuk menuntaskan Alfiyahnya. Kesibukan itu makin membuat mereka jauh.
Ditambah banyak sekali pihak-pihak yang memanfaatkan ke-renggang-an hubungan dua sahabat yang terbilang langgeng itu. Yaitu dengan mengadu domba antara keduanya. Rosi, si pengadu domba memberitahu Azqi bahwa Naura telah menceritakan perasaannya yang ia pendam kepada Ustadz Salman.
Memang benar jika ada yang bicara Naura bercerita tentang perasaan sahabatnya itu pada Ustadz Salman. Tapi, Naura bercerita bukan tak bertujuan.
Naura ingin, Ustadz Salman tidak terlalu memberikan perhatian pada Azqi demi menjaga perasaan sahabatnya. Naura tak ingin Azqi menjadi berharap untuk kesekian kali karena menurutnya, Ustadz Salman tidak memiliki perasaan apapun pada Azqi. Naura tak ingin Azqi jatuh dan sakit hati.
Semua makin rumit. Teman-teman sekelas mereka turut pusing melihat kerenggangan hubungan Azqi dan Naura. Semua ikut berusaha bagaimana meraka akur kembali.
Melihat usaha keras teman-temannya untuk menyatukan hubungan mereka, Azqi dan Naura menjadi nelangsa dan berfikir kembali. Naura lebih dulu tak tahan dengan semuanya. Tapi Azqi, masih awet memakai jurus diamnya.
Diam Azqi bukan sekedar diam. Ia bukan tidak melihat betapa gigih teman-temannya berusaha menyatukannya dengan Naura lagi. Setiap di kelas, ia selalu mendengar kalimat godaan seperti “Azqi, dicari Naura lo. Ciyeee…” atau “Eh Azqi, ga bareng sama Naura? Ciyeee…”
Atau “Eh, eh, kok kembar ya gelangnya? Ciyee…” Atau pula seperti “Naura dipanggil Azqi tuh!” Mendengar semua itu, biasanya Azqi hanya tersenyum acuh. Padahal, Azqi selalu terfikir bagaimana ia bisa kembali rukun dengan Naura. Ia diam untuk berfikir bagaimana baiknya.
Hingga tibalah ia pada suatu hari, dimana keduanya sampai pada apa yang mereka cita-citakan. Alfiyah Naura tuntas setelah Azqi mendapat kemenangan di lomba Tafsirnya. Sebulan setelah itu, keduanyapun kembali berdamai dan saling menghilangkan dendam.