
SantriNow | Dapat dipastikan tiada orang yang tahu akan sebuah negeri yang ada di atas gajah. Negeri itu hanya ada dalam cerita dongeng yang sengaja diimajinasikan oleh seseorang untuk menggambarkan realitas yang ia temui dalam kehidupannya.
Katanya, ia hidup dalam lingkungan yang mayoritas pemudanya sedang asyik memperbincangkan demokrasi, politik, kekuasaan, keadilan, kesamaan hak, dan kebebasan dalam mengemukakan pendapat.
Golongan tua tidak akan saya berikan tempat dalam cerita rekaan ini. Biarkanlah mereka duduk santai di warung dengan segelas seduhan kopi dan rokok kretek yang siap dihisap. Buku-buku kiri biarlah menjadi saksi bisu akan senyum dan gelak tawa mereka menyaksikan sebuah lakon anak muda dengan semangatnya yang berapi-api.
Mari kita kembali menyaksikan para pemuda negeri dongeng di atas gajah. Jika dilihat nampaknya mereka terbagi menjadi dua golongan, namun anehnya kedua golongan berasal dari tetasan hujan yang jatuh dari langit dan bermuara pada sumudera biru nan indah di pelupuk mata. Jangan ditanya bagaimana bisa terjadi?
Karena saya pun tidak tahu, tanyakan saja kepada mereka yang masih memegang tameng di tangan kirinya.
Kedua golongan pemuda itu setiap tahunnya saling memperebutkan posisi dalam negeri di atas awan. Janji-janji yang mereka tanam, sepertinya tidak pernah berbuah. Jangankan berbuah, tumbuh aja tidak.
Rakyat yang hidup di bawah pimpinan mereka menangis sejadi-jadinya, isak tangisnya pun sangat senyap dan air matanya pun lebih bening dibanding embun pagi. Sehingga tak heran jika kedua golongan pemuda itu hanya asyik dengan perseteruan yang tanpa ujung. Koruptor : Terpelajar tapi Tidak Terdidik
Mungkin ujung dari perseteruan mereka adalah hilangnya ingatan untuk belajar berdemokrasi dengan baik. Bukankah demokrasi itu dari rakyat, oleh rayat, dan untuk rakyat. Lalu, mereka meletakkan demokrasi ke dalam kotak berukuran 1 cm x 1 cm atau lebih kecil dari itu, sehingga demokrasi hanya dari dua golongan, oleh dua golongan, dan untuk dua golongan.