
SantriNow | Masyarakat mungkin sudah semenjak dulu menyadari bahwa untuk menjadi seorang koruptor tidak lah mudah. Ada serangkaian proses menuju pada singgasana cobaan terbesar, jabatan atau kedudukan. Pada posisi itulah, pejabat tinggi terkadang atau mungkin sering kali mendapat godaan dari syaithan yang berupa kemewahan.
Mata siapa yang tidak hijau melihat setumpuk uang yang disuguhkan di meja. Akal sehat pun susah untuk mengatakan bahwa uang itu adalah haram diterima. Keharamannya berdasarkan pada hukum yang berlaku, dan keyakinan yang ia anut sekalipun akan melarang perbuatan yang merugikan orang lain.
Di ruang itulah yang akan kita bahas, apakah benar yang dikatakan koruptor adalah mereka yang terdidik dan terplejar? Atau koruptor seharusnya bukan hanya diproses secara hukum, tapi koruptor juga perlu dididik dan diajar?
Kita mulai dari dari mengartikan kata koruptor, pendidikan, dan pengajaran. Nanti akan diketahui, sebenarnya koruptor produk dari pendidikan yang gagal, atau mereka hanya mendapatkan pengajaran saja tanpa memperoleh pendidikan. Hal ini penting untuk dibahas, kenapa? Karena sering kali kita menganggap kedua kata itu sama-sama, padahal dari bentuk katanya saja sudah berbeda, sehingga pengertiannya pun akan jauh berbeda.
Orang akan disebut melakukan korupsi ketika seorang pejabat publik baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat bertindak secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.