
SantriNow | Jangan dikira RA Kartini tidak bisa baca Quran. Justru Anak Bupati Jepara itu fasih sekali bacaan Qurannya. Bukan hanya baca saja melainkan ia juga paham isinya. Perempuan yang menjadi ispirator banyak perempuan kala itu dalam hal pendidikan memang sangat ulet dan pantang menyerah.
Kok bisa RA Kartini di zamannya mampu baca Quran dan paham isinya?
Hal itu tidak lain karena RA Kartini pernah berguru langsung kepada KH Sholeh Darat. Artinya Raden Ajeng Kartini merupakan santri dari Mbah Sholeh Darat itu. Maka jelaslah sanad bacaan dan pemahaman RA Kartini terhadap kitab suci itu.
Siapakah KH Sholeh Darat itu? Ia adalah guru dari beberapa ulama besar di tanah Jawa di antaranya:
KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Syaikh Mahfudh Termas Pacitan (pendiri Pondok Pesantren Termas), KH Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren Solo), KH Sya’ban (ahli falak dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan), KH Munawir (Krapyak Yogyakarta), KH Abdul Wahab Chasbullah Tambak Beras Jombang, KH Abas Djamil Buntet Cirebon, KH Raden Asnawi Kudus, KH Bisri Syansuri Denanyar Jombang dan lain-lainnya. Para murid itu ada yang belajar pada Kiai Soleh Darat sewaktu masih di Mekah maupun setelah di Semarang.
RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya adalah pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.
RA Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Al-Qur’an diterjemahkan. Karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan para ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat menentang larangan ini. Karena permintaan Kartini itu, dan panggilan untuk berdakwah, beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim.