Menurut Abdullah, salah seorang warga, kondisi mengenaskan itu telah berlangsung lama. Namun, entah mengapa, tidak pernah mendapatkan perhatian pemerintah. “Kami tidak punya pilihan lain. Ini satu-satunya jalan,” ungkapnya.
Pada 2015 sebenarnya sudah mulai dibangun jembatan di tempat warga menyeberang tiap hari. Warga tentu saja dengan gembira menyambut. Telah terbayangkan pula betapa hari-hari mencemaskan saat menantang maut untuk menyeberang segera berakhir.
Tapi, kegembiraan itu hanya berumur pendek. Pembangunan jembatan di dusun yang berjarak sekitar 32 km dari Maros itu tak berlanjut. Cuma fondasinya yang masih tersisa sampai kini.
Kepala Desa Bonto Matinggi Haerul mengatakan, pada 2015 itu dana yang digunakan untuk membangun adalah dana desa. Sebesar Rp 170 juta. Tapi tak cukup. Kemudian dianggarkan lagi pada 2017. Juga masih belum cukup. “Untuk tahun ini belum dianggarkan. Baru mau dimusyawarahkan,” ujarnya.
Dari hitung-hitungan pihaknya, membangun jembatan itu butuh biaya besar. Sementara dana desa yang tersedia hanya Rp 1,4 miliar setiap tahun. Padahal, di luar jembatan, banyak kebutuhan lain yang harus dibiayai. Jadilah, ketika ditanya kapan pembangunan jembatan dilanjutkan lagi, Haerul hanya bisa bilang, “Semua ada prosesnya.”
“Karena hasil musyawarah desa, dana desa itu kami bagi-bagi per dusun. Saya sudah laporkan ke camat,” imbuhnya.
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Maros mengaku sudah mengecek jembatan yang pembangunannya tak berlanjut itu. “Lokasinya memang jauh dan sulit dijangkau. Tapi, kami akan lakukan survei ulang,” ujar Kepala Bidang Bina Marga DPUPR Maros Muetazim Mansyur kepada Fajar.
Muetazim maupun Kepala Bagian Humas Pemkab Maros Andi Darmawati sama-sama mengaku selama ini tak pernah mendapat laporan dari kepala desa. Karena itu, mereka terkejut ketika kali pertama mendengar ada anak-anak yang harus menantang maut tiap hari hanya untuk ke sekolah. Itu pun tahunya dari media. “Selama ini tidak ada laporan dari pemerintah desa. Makanya, kami mau cek dulu,” ucapnya.
Artinya, Iskandar dkk tampaknya harus menunggu lebih lama lagi sebelum bisa menyeberangi sungai lewat jembatan. Hari-hari ini, hari-hari ke depan, entah sampai kapan, mereka masih harus merenangi arus. Atau bergantian naik ban.