SantriNow xxx Pondok Pesantren dimana pun pasti punya aturan atau kode etik tersendiri. Rata-rata Pondok Pesantren memiliki undang-undang bahwa setiap santri yang hendak bepergian harus berizin. Dan umumnya pesantren melarang santrinya berkegiatan di luar pesantren seperti kerja untuk cari uang, kecuali atas perintah pengasuh.
Kegiatan santri mukim sebagaimana biasanya yaitu ngaji Quran, Kitab kuning, Shalat berjamaah dan sekolah. Urusan pembiayaan, mulai dari uang makan, uang spp dan lainnya, mereka ditanggung sepenuhnya oleh keluarganya. Intinya semua pesantren di Indonesia ini berbiaya alias tidak geratis.
Namun ada pesantren tertentu yang memang sengaja dibangun khusus para santri yang kurang mampu. Pesantren jenis ini tidak memungut uang apa pun termasuk uang makan. Ada juga pesantren yang mempunyai kereteria khusus dimana santri yang mampu bayar tetap wajib bayar biaya pesantren dan bagi yang kurang mampu digeratiskan.
Pertanyaannya adalah: Dari mana pesantren geratis itu membiayai kebutuhan operasional pesantren dan santrinya?
Maka jawabannya macam-maca. Namun yang pasti pengasuh pesantren punya cara tersendiri. Ada yang bersumber dari penghasilan pengasuh secara pribadi. Ada juga yang melalui saluaran bantuan dari donasi yang bersedia membantu. Serta ada juga melalui dana yang disubsidi pemerintah.
Manakala pengasuh pesantren adalah orang yang kaya raya yang kemudian menggeratiskan sebagian santrinya dengan alasan tidak mampu secara ekonomi wajar bahkan itu wajib hukumnya. Yang menarik adalah cerita seorang driver GO-JEK yang ternyata mempunya 126 santri yang ia biayai.
Sebagaimana yang ditulis media kumparan.com, bahwa lelaki yang berprofesi driver GO-JEK itu merupakan pengasuh pesantren. Dia punya santri berjumlah 126 orang. Dan semua biaya para santri ditanggung oleh driver GO-JEK ini.
Pondok pesantren tersebut sebenarnya sudah berdiri sejak 12 tahun yang lalu. Namun, Endang Irawan mengakui, sejak bergabung dengan GO-JEK, ia baru bisa lebih fokus untuk mengurusnya. Konon laki-laki dengan rambut gondrong itu sebelumnya bekerja sebagai mikanik khusus luar jawa sehingga dia tidak bisa pulang setiap hari melainkan 6-8 bulan sekali.
Hal tersebut rupanya tidak sia-sia. Kini, pondok yang menampung santri dengan usia 12-24 tahun ini bahkan berhasil mencetak penghafal Alquran tingkat provinsi.
“Tentunya, menghafal 30 juz kan tidak mudah,” ujarnya bangga.
Selain itu, ia juga memberikan uang saku kepada para santri sebesar Rp 5 ribu. Sebab, para santri ini sebenarnya juga dilarang untuk keluar dari pondok tanpa izin.
“Makanya kalau saya datang, tukang jajanan pasti habis. Tukang bakso, di sana satu mangkok masih Rp 2 ribu, masuk gerobak pulangnya kosong. Bakwan juga, pokoknya kalau saya datang tukang-tukang dagang pasti udah bolak-balik,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Selain masalah waktu yang lebih fleksibel, Endang mengaku setelah bergabung dengan GO-JEK ia bertemu dengan rekan sesama driver GO-JEK dan bahkan customer yang peduli. Meski, awalnya banyak yang tidak percaya karena penampilan Endang jauh dari kesan ustad.
“Orang tidak ada yang menyangka saya ketua pembina pondok pesantren. Tapi kalau saudara-saudara ke sana, melihat santri cium tangan sama saya, baru percaya,” katanya.
Setiap harinya, penghasilan yang ia dapatkan dari menjadi driver GO-JEK selalu ia bagi menjadi empat. Sebagian untuk menghidupi santri-santrinya, untuk keluarga, membayar kontrakan dan satu lagi untuk diri sendiri.
“Selalu saya bagi. Kan saya juga punya keluarga, punya anak yang saya sekolahkan di pondok pesantren di luar kota, dan rumah saya masih ngontrak. Belum untuk saya, untuk beli bensin, service motor dan lainnya,” jelas Endang. []