www.santri.co – Sudah jelas adanya hak angket yang dimotori anggota DPR cacat hukum, masih saja dibiarkan. Tolong Presiden Jokowi bertindak tegas terkait masalah ini. Kalau KPK terus terusan diganggu, diintimedasi, ditekan kinerjanya seperti ini, kapan Indonesia ini akan terbebas dari jeratan para Koruptor. Sementara KPK hanya satu-satunya lembaga yang masih dianggap mampu menangani kasus Korupsi.
Sesuai dengan apa yang dikatakan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa Hak angket KPK yang digulirkan DPR bermasalah dan cacat hukum. Kalau sudah cacat hukum kenapa kok masih diteruskan. Sebenarnya parpol yang berpihak kepada pemerintah di DPR juga sama saja, karena masih mendukung adanya hak angket.
“Sebaiknya masing-masing parpol menyerap aspirasi publik yang masih dominan mendukung KPK dan tidak mempercayai keberadaan hak angket untuk KPK,” ujar Peneliti ICW Lola Easter waktu diskusi ‘Tolak Hak Angket dan RUU (Pelemahan) KPK’ di Kantor ICW, Jl Kalibata Timur IV D, Nomor 6, Jakarta Selatan, Minggu (18/6).
Bahkan peneliti ICW Lola Easter mendorong agar Jokowi turun tangan untuk menghentikan hak angket untuk KPK ini. Karena kalau dibiarkan bergulir, bisa jadi lembaga antirasuah itu tutup usia alias bubar. Karena apa yang dilakukan anggota DPR terkait hak angket itu sarat bermuatan politis dan ada unsur konflik kepentingan.
Sudah barang tentu DPR merasa terganggu dengan kegiatan KPK yang semakin bringas mengawasi uang rakyat yang dijalankan anggota DPR dan lembaga negra. Karena kasus demi kasus yang berkaitan dengan anggaran keuangan, anggota DPR sering kali tersandung korupsi. Lihat saja Stya Novanto yang sekarang duduk sebagai ketua DPR, sudah berapa kali tersandung kasus korupsi tapi sampai sekarang aman-aman saja. Baca Juga: Amin Rais Mulai Lupa Buku Berjudul ‘Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok’
Dalam kasus korupsi uang untuk E-KTP, Stya Novanto juga disebut-sebut terlibat.Maka wajar jika mereka merasa dalam bahaya akibat ulah KPK yang membuka kasus korupsi uang E-KTP. Padahal hak angket yang digulirkan anggota DPR secara hukum tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan pasal 79 ayat 3 UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang menegaskan bahwa yang dapat diangket DPR adalah lebmbaga eksekutif.
Adapun KPK bukan lembaga eksekutif. Dan juga, hak angket ke KPK ada konflik kepentingan. Sebagaimana ungkapan Lola dari ICW
“Sebetulnya kalau mekanisme (hak angket KPK) tepat, ada surat keputusan (SK) pengangkatan Pansus, terus kemudian ada pemberitahuan ke pihak eksekutif dalam hal ini Jokowi. Karena ini relevansinya kerja eksekutif yang mau diaudit nih oleh DPR, nah seharusnya ada pemberitahuan kepada eksekutif. Itu pun tidak ada,” ungkap Lola.
Maka kalau merujuk kepada sejarah, tepatnya saat Presiden Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) masih memimpin, lembaga DPR dibilang lembaga taman kanak-kanak (LTKK) adalah benar, karena mereka anggota DPR masih tidak bisa move on dari korupsi secara kolektif sampai sekarang. Dilansir dari merdeka.com, Senin (19/6) [as]